Jumat, 07 September 2012

Bunuh Diri Dalam Perspektif Sosiologi


Fenomena bunuh diri sudah sangat dekat dengan pikiran kita dan sangat dekat dengan pembicaraan yang identik dengan terorisme, mereka berani-beraninya bunuh diri mengatasnamakan agama,  yang mengatakan Jihad, ada juga yang bunuh diri karena motif ekonomi bahkan mereka berani melakukan hal ini karena adanya rasa kekeluargaan pada yang kuat atau rasa persatuan yang mengikat pada individu yang berkaitan sehingga mereka bunuh diri secara masal dirumah mereka ataupun di perkumpulan yang mereka rancang.Kemudian muncul beberapa pertanyaan yang muncul dari benak kita. Mengapa hal itu terjadi? Mengapa mereka sampai melakukan tindakan bunuh diri? Apa motif tujuan dari bunuh diri.
Bunuh diri merupakan suatu fenomena pembunuhan dimana mereka membunuh diri mereka sendiri. Emile Durkheim merupakan tokoh Sosiologi yang secara koperhensif mengakaji latar belakang penyebab seseorang atau kelompok melakukan bunuh diri. Berbeda dengan para ahli psikologi, yang mengkaji bunuh diri berdasarkan gejala-gejala psikis. Seperti yang dikutip dalam Nicholas Abercrombie, Stephen Hill, dan Bryan S. Turner (2010: 563), Emile Durkheim mengkaji bunuh diri berdasarkan kompleksitas sosial, ini dibuktikan dengan fakta bahwa tingkat bunuh diri lebih rendah di wilayah pedesaan, dimana gaya hidup mereka lebih sederhana daripada di perkotaan.
Kompleksitas sosial merupakan bagian dari fakta sosial, dimana fakta sosial dalam G. Ritzer (2010) disamakan dengan ‘pranata sosial’ oleh Emile Durkheim. Pranata sosial Menurut pengikutnya, Marcel Mauce dan P. Fanconnet, mencakup cara bertingkah laku dan bersikap yang tidak terbentuk dan yang telah diketemukan oleh individu di dalam pergaulan hidup dimana ia kemudian menjadi bagian daripadanya, sehingga, cara-cara bertingkah laku dan bersikap yang diketemukannya itu memaksanya untuk menurutinya dan untuk mempertahankannya. Fakta sosial menurut Marcel Mauce bersifat ekternal terhadap individu dan merupakan barang sesuatu yang sungguh-sungguh ada dan terpisah dari individu, serta mempengaruhinya (external and coercive) (G.Ritzer, 2010:19).
Dalam buku karangannya Emile Durkheim yang berjudul ‘suicide’ (1897) yang dikutip dalam Nicholas Abercrombie, Stephen Hill, dan Bryan S. Turner (2010), ia menjelaskan bahwa keputusan bunuh diri yang tampaknya merupakan gejala individual, ternyata dapat dipahami sebagai pengaruh dari berbagai bentuk solidaritas sosial dalam berbagai latar sosial. Durkheim dalam bukunya tersebut mengidentifikasi empat jenis bunuh diri berdasarkan analisis statistika bunuh diri pada berbagai masyarakat dan berbagai kelompok di dalamnya. Empat jenis bunuh diri tersebut meliputi bunuh diri ‘egoistik, bunuh diri ‘anomik’, bunuh diri ’alturistik’ dan bunuh diri ‘fatalistik’.
1.            Bunuh diri egoistik, merupakan bunuh diri yang disebabkan oleh adanya etos individualistis dimana individu bertanggung jawab atas keselamatan mereka sendiri. Hal ini bisa terjadi pada kasus bunuh diri di kalangan para artis Korea beberapa waktu yang lalu.
2.            Bunuh diri anomik, merupakan bunuh diri yang disebabkan oleh ketidakhadiran norma, kekaburan norma atau ketika norma-norma berkonflik. Dalam Novri Susan (2010: 44), bunuh diri anomi adalah hasil tercerabutnya indvidu dari tatanan sossial. Individu mengalami persengketaan dengan nilai dan norma di lingkungannya. Menurut Robert K. Merton dalam Jokie M.S. Siahaan (2009), keadaan anomie merupakan wujud adaptasi dari individu atau kelompok atas ketidakjelasn norma. Contoh: kasus bunuh diri akibat penyakit yang diderita tidak jelas kesembuhannya oleh tim medis.
3.            Bunuh diri alturistik atau bunuh diri pengorbanan, banyak ditemukan pada masyarakat primitif dan tentara dalam masyarakat modern, dimana solidaritas mekanis  lebih kuat dan bunuh diri merupakan sesuatu yang lazim dilakukan demi kebaikan kelompok.  Contoh lain dari bunuh diri alturistik adalah kasus bom bunuh diri dari kelompok radikal di Bali, India dan Timur Tengah.
4.            Bunuh diri fatalistik, diakibatkan oleh adanya peraturan sosial yang berlebihan. Contoh: kasus bunuh diri di zaman romusha pada kolonial Belanda.
Bagaimana dengan Indonesia?, bunuh diri mana yang masuk kategori masyarakat Indonesia?, apakah anomi, egoistik, falistik ataupun altruistik. Pada dasarnya bunuh diri yang telah dikelompokkan oleh Durkheim, untuk di Indonesia ada semuanya akan tetapi yang kerap terjadi adalah bunuh diri altruistik dan egoistik .
Kalau bunuh diri yang dikategorikan altruistik ketika adanya bom bunuh diri dimana-mana yang dipelopori oleh Noordin M. Top warga kebangsaan Malaysia yang menggegerkan masyarakat Indonesia. Bagaimana bunuh diri itu terjadi karena adanya ikatan baik mereka merasa ajaran yang dibawa oleh Noordin itu benar sehingga orang-orang asing bisa dikatakan non muslim adalah perusak islam. Nah, setelah diajarkan untuk merakit bom dan dibekali ilmu agama yang menyeleweng dari syariat. Mereka sang pelaku bom bunuh diri pun melaksanakan tugas dengan iming-iming kata Jihad, dengan embel-embel agama mereka berani bunuh diri dengan meledakkan bom.
Sedangkan bunuh diri egoistik yang terjadi belum lama ini dapat dicontohkan dengan bunuh diri di Super Market- Super Market dan juga dengan munculnya film 2012 yang film ini sempat membuat geger para sebagian masyarakat Indonesia seperti bunuh diri setelah mendengar isu tahun 2012 akan kiamat, seorang pria nekat melompat untuk mengakhiri hidupnya dari gedung yang tinggi setelah melakukan sembahyang. Di kabarkan bahwa ia bunuh diri karena telah sakit-sakitan selama hidupnya sedangkan ia hdup menjadi beban kelurganya. Nah dengan motif itu ia lalu melompat karena takut menyusahkan orang lain. Maka ini dapat dikatakan bunuh diri egoistis karena egosime semata ia bunuh diri. 

Rokok dalam kajian sosiologi


Rokok adalah benda beracun yang memberi efek santai dan sugesti merasa lebih jantan. Dan menyebabkan gejala yang sangat fatal bila tidak dihentikan. Kebiasaan merokok selain mempengaruhi kesehatan juga mempengaruhi kepribadian. Perokok biasanya berkepribadian yang keras dan apabila tidak merokok sekali saja, maka kelakuannya semakin menjadi-jadi. Untuk itu anggapan rokok itu menyimpang jika orang-orang di sekitarnya itu menolak keberadaannya karena dianggap sebagai pengganggu bagi mereka yang tidak merokok. Namun, tidak semua orang menolak atas kehadiran rokok dan yang merokok karena mereka menganggap jika rokok akan membuatnya nyaman. Penyimpangan sosial diartikan sebagai tingkah laku yang menyimpang dari tendensi sentral atau ciri-ciri karakteristik rata-rata dari rakyat kebannyakan (K. Kartono, 2007: 11). Menurut Kartini Kartono (2007: 18), penyimpangan sosial dapat dibedakan dalam tiga kelompok yaitu sebagai berikut :
1.    Individu-individu dengan tingkah laku menyimpang yang menjadi “masalah” merugikan dan destruktif bagi orang lain, akan tetapi tidak merugikan diri sendiri.
2.    Individu-individu dengan tingkah laku menyimpang yang menjadi masalah bagi diri sendiri, akan tetapi tidak merugikan orang lain.
3.    Individu-individu dengan deviasi tingkah laku yang menjadi maslah bagi diri sendiri dan bagi orang lain.
Dalam pembahasan penyimpangan, terdapat tiga pendekatan teori yakni teori biologis (approach biologik), teori psikologis (approach psychologik), dan teori sosiologis (approach sociologik) (dalam Vembriarto, 1984: 48). Namun, yang terkait dengan tingkah laku menyimpang merokok hanya berdasarkan pada dua pendekatan teori saja yakni teori psikologis dan sosiologis. Pendekatan teori psikologis menekankan pada faktor-faktor tingkah laku menyimpang dari aspek psikologisnya, sehingga orang melanggar norma-norma sosial yang ada. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah intelegensi, sifat-sifat kepribadian, proses berfikir, motivasi-motivasi untuk memperoleh kepuasan tertentu, sikap hidup yang keliru, dan internalisasi diri yang salah, serta konflik emosi (dalam Vembriarto, 1984: 48). Berkaitan dengan merokok, maka faktor yang mempengaruhi seseorang secara psikologis untuk berbuat menyimpang salah satunya adalah karena adanya motivasi-motivasi untuk memperoleh kepuasan tertentu. Seseorang wanita merokok misalnya, mereka mempunyai dorongan psikologis yang paling kuat karena untuk mencari bentuk jati diri. Penelitian di Inggris menunjukkan bahwa para remaja putri yang menyangka bahwa kebiasaan merokok dapat membuatnya tampak dewasa, memberi kepercayan diri dan mengontrol berat badannya sehingga mereka akan lebih sering mencoba untuk merokok (T. J. Aditama, 1992: 56-57).
Dalam pendekatan teori sosiologis menurut Teori Asosiasi Deferensial adalah bahwa kejahatan merupakan perikelakuan yang dianggap menyimang atau bahkan membahayakan masyarakat. Menurut Sutherland (dalam M. D. Weda, 1996: 133), proses yang dilalui seseorang untuk menjadi jahat atau memiliki tingkah laku jahat, antara lain adalah:
1.    Tingkah laku jahat dipelajari, jadi tingkah laku itu tidak diwarisi sehingga tidak mungkin ada orang jahat secara mekanis.
2.    Tingkah laku jahat seseorang dimilikinya karena pergaulan dengan orang-orang jahat melalui proses interaksi.
3.    Apabila tingkah laku itu dipelajari, maka yang dipelajari adalah (1) cara melakukan kejahatan itu baik yang sulit maupun yang sederhana dan (2) bimbingan yang bersifat khusus mengenai motif, rasionalisasi, serangan, dan sikap.
4.    Defferntial association adalah hal spesifik yang menyebabkan seseorang bertingkah laku jahat.
Di dalam suatu proses pergaulan seseorang, sangat dipengaruhi oleh empat unsur, yakni masa lampau (priority), lama waktu seseorang bergaul dalam kelompoknya (duration), frekuensi pergaulan dalam kelompoknya (frekuency), dan sikap moral orang yang bersangkutan terhadap norma-norma yang dianut dalam kelompok tersebut (intensity). Teori ini pada hakekatnya menekankan betapa pentingnya sikap individu terhadap situasi lingkungannya (dalam R. Atamasasmita, 2005: 82). Adanya perilaku menyimpang bukan berasal dari faktor keturunan, melainkan berasal dari pergaulan individu. Seperti dikemukan dalam teori yang dikemukakan oleh Sutherland di atas bahwa salah satu perilaku kriminal dapat dipelajari pada pergaulan akrab. Seperti halnya dalam merokok, biasanya seseorang memulai kebiasaan merokok diakibatkan karena pergaulannya dengan kelompok-kelompok yang suka merokok. Seperti pengaruh lingkungan keluarga dan pengaruh lingkungan tempat bermainnya atau peer group (T. J. Aditama, 1992: 57).


Sumber Bacaan
·         Kartini Kartono. 2007. Patologi Sosial Jilid I. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
·         Made Darma Weda. 1996. Kriminologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
·         Romli Atamasasmita. 2005. Teori dan Kapita Selekta Kriminologi. Bandung: Refika Aditama.
·         St Vembriarto. 1984. Pathologi Sosial. Yogyakarta: Andi Offset.
·         Tjandra Yoga Aditama. 1992. Rokok  dan Kesehatan. Jakarta: UI Press.