Rabu, 30 Mei 2012

Stratifikasi Sosial

 Pengertian Stratifikasi Sosial

Stratifikasi sosial menurut Pitirim A. Sorokin adalah perbedaan penduduk/masyarakat ke dalam lapisan-lapisan kelas secara bertingkat (hirarkis).Pitirim A. Sorokin dalam karangannya yang berjudul “Social Stratification” mengatakan bahwa sistem lapisan dalam masyarakat itu merupakan ciri yang tetap dan umum dalam masyarakat yang hidup teratur.
Stratifikasi sosial menurut Drs. Robert M.Z. Lawang adalah penggolongan orang-orang yang termasuk dalam suatu sistem sosial tertentu ke dalam lapisan-lapisan hirarkis menurut dimensi kekuasaan, privilese dan prestise.
Stratifikasi sosial menurut Soerjono Soekanto adalah pembedaan posisi seseorang atau kelompok dalam kedudukan berbeda-beda secara vertikal baik pada masyarakat tradisional maupun masyarakat modern yang heterogen atas dasar kedudukan yang diperoleh melalui perjuangannya untuk melangsungkan interaksinya dalam masyarakat.
Pengertian stratifikasi sosial itu sendiri secara umum adalah penggolongan-penggolongan manusia secara bertingkat (hierarkis).Dasar penggolongannya adalah kedudukan atau status sosial yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang.Akibat adanya penggolongan-penggolongan tersebut adalah perbedaan antar hak, kesempatan, dan kewajiban masing-masing individu/kelompok. Gejala penggolongan-penggolongan manusia berdasarkan kriteria sosial secara vertikal merupakan gejala yang telah lazim di setiap kehidupan manusia di dalam kelompok dan merupakan proses sosial yang bersifat alamiah.

Agama Hindu mengklasifikasikan manusia dalam kasta-kasta sosial :
Kasta Brahmana  : kelompok yang menduduki sebagai pemuka agama
Kasta Ksatria       :kelompok yg strata sosialnya sebagai bangsawan/birokrat
Kasta Waisya       : kelompok yang ditempati oleh petani dan pedagang
Kasta Sudra         : kelompok buruh, abdi, pekerja
Kasta Paria          : kelompok para gelandangan, orang gila, dan pengemis



Dasar-dasar Pembentukan Pelapisan Sosial

Ukuran Kekayaan
Kekayaan (materi atau kebendaan) dapat dijadikan ukuran penempatan anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan sosial yang ada, barang siapa memiliki kekayaan paling banyak mana ia akan termasuk lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial, demikian pula sebaliknya, yang tidak mempunyai kekayaan akan digolongkan ke dalam lapisan yang rendah. Kekayaan tersebut dapat dilihat antara lain pada bentuk tempat tinggal, benda-benda tersier yang dimilikinya, cara berpakaiannya, maupun kebiasaannya dalam berbelanja.

Ukuran Kekuasaan dan Wewenang
Seseorang yang mempunyai kekuasaan atau wewenang paling besar akan menempati lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Ukuran kekuasaan sering tidak lepas dari ukuran kekayaan, sebab orang yang kaya dalam masyarakat biasanya dapat menguasai orang-orang lain yang tidak kaya, atau sebaliknya, kekuasaan dan wewenang dapat mendatangkan kekayaan.

Ukuran Kehormatan
Ukuran kehormatan dapat terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan atau kekuasaan. Orang-orang yang disegani atau dihormati akan menempati lapisan atas dari sistem pelapisan sosial masyarakatnya. Ukuran kehormatan ini sangat terasa pada masyarakat tradisional, biasanya mereka sangat menghormati orang-orang yang banyak jasanya kepada masyarakat, para orang tua ataupun orang-orang yang berprilaku dan berbudi luhur.

Ukuran Ilmu Pengetahuan
Ukuran ilmu pengetahuan sering dipakai oleh anggota-anggota masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Seseorang yang paling menguasai ilmu pengetahuan akan menempati lapisan tinggi dalam sistem pelapisan sosial masyarakat yang bersangkutan. Penguasaan ilmu pengetahuan ini biasanya terdapat dalam gelar-gelar akademik (kesarjanaan), atau profesi yang disandang oleh seseorang, misalnya dokter, insinyur, doktorandus, doktor ataupun gelar profesional seperti profesor. Namun sering timbul akibat-akibat negatif dari kondisi ini jika gelar-gelar yang disandang tersebut lebih dinilai tinggi daripada ilmu yang dikuasainya, sehingga banyak orang yang berusaha dengan cara-cara yang tidak benar untuk memperoleh gelar kesarjanaan, misalnya dengan membeli skripsi, menyuap, ijazah palsu dan seterusnya


Sistem-sistem yang Membentuk Stratifikasi Sosial
a)      Sistem Kekastaan
kasta adalah kategori dimana para anggotanya ditunjuk dan ditetapkan status yang permanen dalam hierarki (lapisan vertikal) sosial, serta hubungan-hubungannya yang dibatasi oleh status yang dimilikinya.
b)      Kelas Sosial
terdiri dari sejumlah orang yang memiliki status sosial baik ascribed status, achieved status, dan assigned status.
c)      Sistem Feodal
terdiri dari kaum raja, bangsawan/tuan tanah, ksatria, petani.
d)     Sistem Apartheit
pemisahan yang terjadi antara golongan penduduk yang berkulit hitam dengan golongan penduduk yang berkulit putih.
Sifat stratifikasi sosial terbagi menjadi dua, yaitu closed social stratification (pelapisan sosial tertutup) dan open social stratification (pelapisan sosial terbuka). Pelapisan sosial tertutup adalah tertutupnya seseorang atau sekelompok orang untuk pindah dari lapisan sosial satu ke lapisan sosial lainnya secara vertikal.Contohnya pada masyarakat feodal dan sistem kekastaan yang kuat sehingga sulit bagi seseorang atau sekelompok orang untuk berpindah status sosial maupun berpindah kasta.Dalam pelapisan berdasarkan ras manusia juga dapat dijumpai sistem pelapisan sosial tertutup.Sedangkan, pelapisan sosial terbuka adalah terbukanya seseorang atau sekelompok orang untuk pindah dari lapisan sosial satu ke lapisan sosial lainnya secara vertikal.Status sosial pada sifat pelapisan sosial terbuka ini dapat diperoleh melalui perjuangan untuk memperoleh status sosial yang diharapkan serta adanya keahlian dan keterampilan dari masing-masing individu.

Dilihat dari proses terjadinya, status sosial dibagi menjadi tiga :
1.       Ascribed Status
kedudukan sosial seseorang yang diperoleh secara otomatis melalui kelahiran atau keturunan. Status ini diperoleh tanpa usaha tertentu bagi yang mendudukinya, bukan atas inisiatifnya sendiri.
Contoh ” orang keturunan bangsawan (berdarah biru) atau keratin

2.       Achieved Status
 status yang diperjuangkan. Suatu kedudukan yang dicapai seseorang melalui usaha-usaha yang disengaja atau melalui perjuangan. Status sosial ini bersifat terbuka asalkan memenuhi syarat-syarat tertentu. Status ini tertutup untuk kasta.
Contoh ” status sebagai mahasiswa

3.       Assigned Status
status yang diberikan. Adalah status sosial yang diberikan kepada seseorang yang berjasa dan telah memperjuangkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat.
Contoh :
“status yang diberikan kepada Bapak Soeharto sebagai Bapak Pembangunan
“status yang diberikan kepada Bapak Soekarno sebagai Bapak Proklamator

Fungsi Stratifikasi Sosial itu sendiri adalah :
Menurut Kingsley Davis dan Wilbert Moore
mendorong individu untuk menempati status-status sosial tertentu.

Menurut Karl Marx dan Max Weber
mendorong timbulnya konflik sosial akibat dari ketidak adilan sosial.

Menurut Soerjono Soekanto
memberikan fasilitas hidup tertentu (life chance) dan membentuk gaya tingkah laku hidup (life style) bagi masing-masing anggotanya.

Stratifikasi sosial berdasarkan kriteria sosial
Menurut Weber,  para anggota masyarakat dapat dipilah secara vertikal berdasarkan atas ukuran-ukuran kehormatan, sehingga ada orang-orang yang dihormati dan disegani dan orang-orang yang dianggap biasa-biasa saja, atau orang kebanyakan, atau bahkan orang-orang yang dianggap hina. Orang-orang yang dihormati atau disegani pada umumnya adalah mereka yang memiliki jabatan atau profesi tertentu,  keturunan bangsawan atau orang-orang terhormat, atau berpendidikan tinggi. Ukuran-ukuran penempatan anggota masyarakat dalam stratifikasi sosial yang dapat dikategorikan sebagai kriteria sosial antara lain, (1) profesi, (2)  pekerjaan, (3) tingkat pendidikan, (4) keturunan, dan (5) kasta.
1. Profesi
Yang dimaksud profesi adalah pekerjaan-pekerjaan yang untuk dapat melaksanakannya memerlukan keahlian, misalnya dokter, guru, wartawan, seniman, pengacara, jaksa, hakim, dan sebagainya.  Orang-orang yang menyandang profesi-profesi tersebut disebut kelas profesional.
Di samping kelas profesional, dalam masyarakat terdapat juga kelas-kelas  tenaga terampil dan tidak terampil, yang pada umumnya ditempatkan pada posisi yang lebih rendah dalam stratifikasi sosial masyarakat.
2. Pekerjaan.
Berdasarkan tingkat prestise atau gengsinya, pekerjaan-pekerjaan dalam masyarakat dapat dibedakan menjadi: (1) pekerjaan kerah putih (white collar), dan (2) pekerjaan kerah biru (blue collar).  Pekerjaan kerah putih merupakan pekerjaan-pekerjaan yang lebih menuntut penggunaan pikiran atau daya intelektual, sedangkan pekerjaan-pekerjaan kerah biru lebih menuntut penggunaan energi atau kekuatan fisik. Pada umumnya anggota masyarakat lebih memberikan penghargaan atau gengsi yang lebih tinggi pada pekerjaan-pekerjaan kerah putih. Walaupun, tidak selalu bahwa pekerjaan kerah putih memberikan dampak ekonomi atau finansial yang lebih besar daripada pekerjaan kerah biru.
3. Pendidikan
Pada zaman sekarang ini pendidikan sudah dianggap sebagai kebutuhan yang harus dipenuhi oleh sebagian besar anggota masyarakat. Orang-orang yang berpendidikan tinggi akan menempati posisi dalam stratifikasi sosial yang lebih tinggi. Sehingga tamatan  S-3 dipandang lebih tinggi kedudukannya daripada tamatan  S2, S1, SMA/SMK, SMP, SD, dan mereka yang tidak pernah  sekolah.
4. Keturunan
Keturunan raja atau bangsawan dalam masyarakat dipandang memiliki kedudukan yang tinggi. Bahkan, pada masyarakat feodal, hampir tidak ada pengakuan terhadap simbol-simbol yang berasal dari luar istana, termasuk tata kota, arsitektur, pemilihan hari-hari penting, pakaian, seni, dan sebagainya. Penempatan orang dalam posisi-posisi penting dalam masyarakat akan selalu mempertimbangkan faktor keturunan, dan keaslian keturunan dipandang sangat penting.
5. Kasta
Kasta merupakan pemilahan anggota masyarakat yang dikenal pada masyarakat Hinduisme. Masyarakat dipilah menjadi kasta-kasta, seperti:  Brahmana, Ksatria, Weisyia, dan Sudra. Kemudian ada orang-orang yang karena tindakannya dihukum dikeluarkan dari kasta, digolongkan menjadi paria.
Sebagian besar orang menganggap pemilahan dalam kasta bersifat graduated atau berjenjang, mengingat orang-orang yang berasal dari kasta yang berbeda akan memiliki gengsi (prestige) dan hak-hak istimewa (privelege) yang berbeda. Namun, tokoh-tokoh Hinduisme menyatakan bahwa kasta bukanlah pemilahan vertikal, melainkan hanyalah merupakan catur warna.

Stratifikasi sosial berdasarkan kriteria ekonomi
Kriteria ekonomi yang digunakan sebagai dasar stratifikasi sosial dapat meliputi penghasilan dan  pemilikan atau kekayaan.
Apabila dipilah menggunakan kriteria ekonomi, maka masyarakat akan terdiri atas
a)       Kelas atas, yaitu orang-orang yang karena penghasilan atau kekayaannya  dengan leluasa dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan  hidupnya
b)       Kelas menengah, yaitu orang-orang yang karena penghasilan dan kekayaannya dapat leluasa memenuhi kebutuhan hidup mendasarnya, tetapi tidak leluasa untuk kebutuhan-kebutuhan lainnya
c)       Kelas bawah, yaitu orang-orang yang dengan sumberdaya ekonominya hanya dapat memenuhi kebutuhan hidup mendasarnyanya, tetapi tidak leluasa, atau bahkan tidak mampu untuk itu.

Stratifikasi sosial berdasarkan kriteria politik
Ukuran yang digunakan untuk memilah masyarakat atas dasar dimensi atau kriteria politik adalah distribusi kekuasaan. Kekuasaan (power) berbeda dengan kewenangan (otoritas).  Seseorang yang berkuasa tidak selalu memiliki kewenangan.
Yang dimaksud kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi individu-individu lain dalam masyarakat, termasuk mempengaruhi pembuatan keputusan kolektif.  Sedangkan wewenang adalah hak untuk berkuasa.  Apa yang terjadi apabila orang mempunyai wewenang tetapi tidak memiliki kekuasaan? Mana yang lebih efektif, orang mempunyai kekuasaan saja, atau wewenang saja?
Meskipun seseorang memiliki hak untuk berkuasa, artinya ia memiliki wewenang, tetapi kalau dalam dirinya tidak memiliki kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain, maka ia tidak akan dapat melaksanakan hak itu dengan baik. Sebaliknya, apabila seseorang memiliki kemampuan mempengaruhi pihak lain, meskipun ia tidak punya wewenang untuk itu, pengaruh itu dapat berjalan secara efektif.  Untuk lebih memahami hal ini, dapat diperhatikan pengaruh tokoh masyarakat, seperti seorang tokoh agama atau orang yang dituakan dalam masyarakat.
Sudah beradab-abad menjadi pemikiran dalam dalil politik, bahwa kekuasaan dalam masyarakat selalu terdistribusikan tidak merata. Gaetano Mosca (1939) menyatakan bahwa dalam setiap masyarakat selalu terdapat dua kelas penduduk: satu kelas yang menguasai dan satu kelas yang dikuasai. Kelas pertama yang jumlahnya lebih kecil, menjalankan semua fungsi politik, memonopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan yang diberikan oleh kekuasaan itu, sedangkan kelas kedua, yang jumlahnya lebih besar, diatur dan dikendalikan oleh kelas pertama itu.
Vilfredo Pareto, Gaetano Mosca, dan Robert Michels memberikan pengertian bahwa beberapa asas umum yang menjadi dasar bagi terbentuknya stratifikasi sosial, khususnya yang berkaitan dengan kekuasaan politik, adalah:
1. Kekuasaan politik tidak dapat didistribusikan secara merata
2. Orang-orang dikategorikan ke dalam dua kelompok: yang memegang kekuasaan dan yang tidak memilikinya
3. Secara internal, elite itu bersifat homogen, bersatu, dan memiliki kesadaran kelompok
4. Keanggotaan dalam elite berasal dari lapisan yang sangat terbatas
5.Kelompok elite pada hakikatnya bersifat otonom, kebal akan gugatan dari siapa pun di luar kelompoknya mengenai keputusan-keputusan yang dibuatnya
Di dalam masyatakat yang demokratis, pembagian dikotomis antara yang berkuasa dan tidak berkuasa tidak sesederhana yang dikemukakan Mosca dan kawan-kawannya.  Biarpun kelas berkuasa jumlah orangnya selalu lebih sedikit, tetapi pada umumnya distribusi kekuasaan lebih terfragmentasi ke berbagai kelompok-kelompok.  Dalam masyarakat yang demokratis, kelompok elite tidak memiliki otonomi sebagaimana pada masyarakat diktator. Kekuasaan elite dalam masyarakat demokratis selalu dapat dikontrol oleh kelompok-kelompok yang ada di luar kelompok elite, dan jumlahnya lebih dari satu.
a)   Dominasi
Dominasi merupakan kekuasaan yang nyaris tidak dapat ditolak oleh siapapun. Kekuasaan yang sifatnya hampir multlak.
Kekuasaan dalam masyarakat berdasarkan sumbernya dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: (1) kekuasaan tradisional, (2) kekuasaan kharismatik, dan (3) kekuasaan legal-rasional.
Kekuasasan tradisional adalah kekuasaan yang sumbernya berasal dari tradisi masyarakat, misalnya raja.  Kekuasaan kharismatik bersumber dari kewibawaan atau kualitas diri seseorang, dan kekuasaan legal rasional bersumber dari adanya wewenang yang didasarkan pada pembagian kekuasaan dalam birokrasi, misalnya pemerintahan.
Mengapa dominasi?
Dominasi dapat  terjadi  karena unsur-unsur kekuasaan seperti kharisma, tradisi dan legal rasional dimiliki oleh seseorang.  Dalam batas-batas tertentu, Sultan Yogyakarta memiliki ketiga unsur kekuasaan tersebut.
b)   Status sosial
Unsur penting dalam stratifikasi sosial adalah status. Apakah status? Status adalah Posisi atau kedudukan atau tempat seseorang atau kelompok dalam struktur sosial masyarakat atau pola hubungan sosial tertentu.
Status seseorang dapat diperoleh sejak kelahirannya (ascribed status), diberikan karena jasa-jasanya (assigned status), atau karena prestasi dan perjuangannya (achived status). Masyarakat modern lebih menghargai status-status yang diperoleh melalui prestasi atau perjuangan, masyarakat feudal lebih menghargai status yang diperoleh sejak lahir.
Apakah kelas sosial?
·         Segolongan orang yang menyandang status relatif sama
·         Memiliki cara hidup tertentu
·         Sadar akan privelege (hak istimewa) tertentu, dan
·         memiliki prestige (gengsi kemasyarakatan) tertentu
Apakah simbol status?
·         Simbol “sesuatu” yang oleh penggunanya diberi makna tertentu
·         Ciri-ciri/tanda-tanda yang melekat pada diri seseorang atau kelompok yang secara relatif dapat menunjukkan statusnya
·         Antara lain: cara berpakaian,cara berbicara, cara belanja, desain rumah, cara mengisi waktu luang, keikutsertaan dalam organisasi, tempat tinggal,cara berbicara, perlengkapan hidup, akses informasi, dst.
Konsekuensi perbedaan status dalam pelapisan sosial masyarakat?
·         Cara hidup (cara berfikir, berperasaan dan bertindak) yang berbeda: sikap politik, kepedulian sosial, keterlibatan dalam kelompok sosial, dst.). Ingat: PS = f(S + K), bahwa perilaku sosial pada dasarnya merupakan fungsi dari struktur sosial dan kebudayaan.  Jawablah: mengapa seorang individu menyebut orangtuanya sebagai mama dan papa, bukan ayah dan ibu, bukan bapak dan ibu, atau bapak dan simbok?
·         Prestige (gengsi/kehormatan sosial) yang berbeda
·         Privilege (hak istimewa) yang berbeda




Analisis Mengenai Stratifikasi Sosial
Sebenarnya, adanya stratifikasi sosial ini ditengah masyarakat merupakan masalah yang pelik dalam hubungan sosialisasi masyarakat.Tak jarang pula kita mendengar banyak terjadi konflik sosial akibat adanya stratifikasi sosial.Bagaimana nasib masyarakat yang berada di kelas/lapisan bawah? Mereka akan terus menjadi masyarakat yang tertutup karena mereka merasa rendah sehingga perkembangan dalam kelompok masyarakat dalam lapisan tersebut sangat sulit terjadi. Pelapisan sosial ini memberikan fasilitas hidup tertentu (life chance) dan membentuk gaya tingkah laku hidup (life style) bagi masing-masing anggotanya. Bila seseorang atau sekelompok masyarakat berada di lapisan atas dan memiliki status yang tinggi, mereka akan lebih mudah berkembang dan terbuka dalam hubungan sosialnya. Sulitnya memasuki lapisan atas dalam status sosial oleh masyarakat lapisan bawah juga merupakan masalah tersendiri yang sulit untuk dipecahkan. Kesulitan untuk berpindah lapisan sosial ini akan menimbulkan masalah-masalah dalam kelompok sosial, misalnya rasa tidak adil, merasa tidak mendapatkan hak yang semestinya, maupun kesenjangan sosial yang akhirnya akan menimbulkan konflik sosial ditengah masyarakat.

Beberapa pendapat sosiologis  mengatakan dalam semua masyarakat dijumpai ketidaksamaan di berbagai bidang misalnya saja dalam dimensi ekonomi. Sebagian anggota masyarakat mempunyai kekayaan yang berlimpah dan kesejahteraan hidupnya terjamin, sedangkan sisanya miskin dan hidup dalam kondisi yang jauh dari sejahtera. Dalam dimensi yang lain misalnya kekuasaan, sebagian orang mempunyai kekuasaan sedangkan yang lain dikuasai. Suka atau tidak suka inilah realitas masyarakat.Seringkali dalam pengalaman sehari-hari kita melihat fenomena sosial seperti seseorang yang tadinya mempunyai status tertentu di kemudian hari memperoleh status yang lebih tinggi dari pada status sebelumnya.Hal demikian disebut mobilitas sosial.Stratifikasi sosial akan selalu ditemukan dalam masyarakat selama di dalam masyarakattersebut terdapat sesuatu yang dihargai. Mungkin berupa uang atau benda-benda bernilaiekonomis, atau tanah, kekuasaan, ilmu pengetahuan, kesalehan agama, atau keturunankeluarga terhormat. Seseorang yang banyak memiliki sesuatu yang dihargai akandianggap sebagai orang yang menduduki pelapisan atas. Sebaliknya mereka yang hanyasedikit memiliki atau bahkan sama sekali tidak memiliki sesuatu yang dihargai tersebut,mereka akan dianggap oleh masyarakat sebagai orang-orang yang menempati pelapisanbawah atau berkedudukan rendah. pelapisan sosial dapat mempengaruhikehidupan masyarakat, seperti adanya perbedaan gaya hidup dan perlakuan darimasyarakat terhadap orang-orang yang menduduki pelapisan tertentu. Stratifikasi sosialjuga menyebabkan adanya perbedaan sikap dari orang-orang yang berada dalam stratasosial tertentu berdasarkan kekuasaan, privilese dan prestise.

Dalam lingkunganmasyarakat dapat terlihat perbedaan antara individu, atau satu keluarga lain, yang dapatdidasarkan pada ukuran kekayaan yang dimiliki.Yang kaya ditempatkan pada lapisanatas, dan miskin pada lapisan bawah.Atau mereka yang berpendidikan tinggi berada dilapisan atas sedangkan yang tidak sekolah pada lapisan bawah.Dari perbedaan lapisansosial ini terlihat adanya kesenjangan sosial.Hal ini tentu merupakan masalah sosialdalam masyarakat. Perbedaan sikap tersebut tercermin dari gaya hidup seseorang sesuai dengan stratasosialnya. Pola gaya hidup tersebut dapat dilihat dari cara berpakaian, tempat tinggal,cara berbicara, pemilihan tempat pendidikan, hobi dan tempat rekreasi.

Pengaruh atau dampak stratifikasi sosial pada kehidupan masyarakat sangat besar dan berpengaruh. Karena dengan kelas sosial yang ada akan menyediakan masyarakat dengan apa yang mereka butuhkan. Stratifikasi sosial dalam masyarakat digambarkan mengerucut atau seperti piramida, hal ini disebabkan semakin tinggi kelas sosial, semakin sedikit pula jumlah yang menempatinya. Adapun dampak stratifikasi sosial pada dalam kehidupan masyarakat adalah :

1. Eklusivitas
Stratifikasi sosial yang membentuk lapisan-lapisan sosial juga merupakan sub-culture, telah menjadikan mereka dalam lapisan-lapisan gtertentu menunjukan eklusivitasnya masing-masing. Eklusivitas dapat berupa gaya hidup, perilaku dan juga kebiasaan mereka yang sering berbeda antara satu lapisan dengan lapisan yang lain.Gaya hidup dari lapisan atas akan berbeda dengan gaya hidup lapisan menengah dan bawah. Demikian juga halnya dengan perilaku masing-masing anggotanya dapat dibedakan; sehingga kita mengetahui dari kalangan kelas social mana seseorang berasal.Eklusivitas yang ada sering membatasi pergaulan diantara kelas social tertentu, mereka enggan bergaul dengan kelas social dibawahnya atau membatasi diri hanya bergaul dengan kelas yang sanma dengan kelas mereka.

2. Etnosentrisme
Etnosentrisme dipahami sebagai mengagungkan kelompok sendiri dapat terjadi dalam stratifikasi social yang ada dalam masyarakat. Mereka yang berada dalam stratifikasi social atas akan menganggap dirinya adalah kelompok yang paling baik dan menganggap rendah dan kurang bermartabat kepada mereka yang berada pada stratifikasi sosial rendah.Pola perilaku kelas social atas dianggap lebih berbudaya dibandingkan dengan kelas social di bawahnya. Sebaliknya kelas social bawah akan memandang mereka sebagai orang boros dan konsumtif dan menganggap apa yang mereka lakukan kurang manusiawi dan tidak memiliki kesadaran dan solidaritas terhadap mereka yang menderita. Pemujaan terhadap kelas sosialnya masing-masing adalah wujud dari etnosentrisme.

3. Konflik Sosial
Perbedaan yang ada diantara kelas social dapt menyebabkan terjadinya kecemburuan social maupun iri hati. Jika kesenjangan karena perbedaan tersebut tajam tidak menutup kemungkinan terjadinya konflik social antara kelas social satu dengan kelas social yang lain.Misalnya demonstrasi buruh menuntut kenaikan upah atau peningkatan kesejahteraan dari perusahaan dimana mereka bekerja adalah salah satu konflik yang terjadi karena stratifikasi sosial yang ada dalam masyarakat.

Meskipun begitu, stratifikasi sosial juga memiliki dampak positif bagi masyarakat. Pengaruh positif dari stratifikasi sosial itu sendiri adalah orang-orang akan berusaha untuk berprestasi atau berusaha untuk maju karena adanya kesempatan untuk pindah strata. Kesempatan ini mendorong orang untuk mau bersaing, dan bekerja keras agar dapat naik ke strata atas. Contoh: Seorang anak miskin berusaha belajar dengan giat agar mendapatkan kekayaan dimasa depan. Mobilitas sosial akan lebih mempercepat tingkat perubahan sosial masyarakat ke arah yang lebih baik.

Format Pengajuan Judul Jurusan Sosiologi Fisip Undana Kupang

Salah satu tahap awal untuk melangkah menuju tugas akhir adalah dengan mengajukan permohonan judul penelitian kepada pimpinan jurusan. dimana kita diminta untuk mengajukan 3 judul dan kemudian akan ditentukan 1 judul yang akan menjadi judul penelitian kita nanti. namun untuk mengajukan permohonan judul maka yang perlu kita siapkan adalah format pengajuan judul. untuk yang belum memilikinya silakan mendownloadnya disini

TEORI NATURE DAN NURTURE DALAM PEMBAGIAN KERJA SECARA SEKSUAL : Relevankah?


                Pembagian kerja merupakan suatu gejala sosiologis dalam masyarakat yang telah berkembang sejak zaman dulu dan tetap aktual sampai sekarang. Perempuan dalam ranah domestik dan laki-laki dalam ranah publik. Banyak orang menganggap bahwa hal ini merupakan sesuatu yang alamiah, terberi dan diterima begitu saja tanpa ada komentar apapun.                     
                Kenyataan seperti ini tentu membuat ketidakadilan dalam masyarakat, khususnya kaum perempuan. Parahnya, ada yang memandang bahwa hal ini adalah kodrat dari perempuan. Mereka yang menyetujuinya membuat pekerjaan melulu domestik merupakan kewajiban dan hanya di situ lokus perempuan. Mereka yang tidak setuju membuat gebrakan baru yang menentang pembagian kerja bidang domestik bagi perempuan. Dengan kata lain mereka juga menginginkan agar perempuan bekerja dalam lingkup publik. Hal ini dengan sendirinya membuat perempuan menggoyang patriarki yang selama ini mengkungkung perempuan dalam 3-ur (dapur, sumur, kasur).
                Tulisan ini hendak membahas pandangan pembagian kerja menurut kaum yang menamakan diri nature dan kaum yang berseberangan bernama nurture. Dua aliran yang hampir sama dalam penyebutan, tapi sangat berbeda dalam pandangan. Akan ditinjau apakah pandangan-pandangan ini masih relevan sampai pada masa kini, ataukah ada hal-hal yang harus dikritisi sekaligus diperbaiki.
 Teori Nature dan Nurture
                Teori nature beranggapan bahwa pembangian kerja (perempuan: domestik; laki-laki: publik) disebabkan oleh faktor-faktor biologis laki-laki dan perempuan. Faktor-faktor itu adalah anggapan secara psikologis bahwa perempuan itu emosional, pasif, dan submisif; sedangkan laki-laki lebih perkasa, aktif dan agresif. Karena itu wajarlah perempuan tinggal dalam rumah, membesarkan anak-anak, memasak dan memberi perhatian kepada suaminya. Sedangkan laki-laki, sesuai dengan struktur biologisnya itu, pergi ke luar rumah untuk mencari makanan/sumber penghidupan bagi keluarga. Jadi teori nature mengesahkan pandangan bahwa daerah perempuan adalah domestik dan daerah laki-laki adalah publik.
                Teori nurture , menolak pandangan kaum nature, dengan memahami bahwa pembagian kerja secara seksual itu tercipta karena proses belajar dan lingkungan. Artinya, perempuan menempati ranah domestik karena diciptakan oleh keluarga dan masyarakat yang mengesahkan pembagian kerja seperti itu. “Wanita” dengan model seperti pandangan nature telah dibentuk oleh masyarakat dengan tugas seperti itu. Padahal hal ini sebenarnya, dari sisi politik, merupakan tindakan yang direncanakan oleh sistem patriakhal untuk mengunggulkan laki-laki menguasai perempuan.
Gejala Sosiologis Kontemporer: Teori Nature Tidak Lagi Relevan   
                Berdasarkan dua teori di atas, nampak bahwa ada jurang yang begitu besar di antara keduanya. Masalah yang ditimbulkan oleh teori nature adalah subodinasi perempuan yang dikurung dalam rumah dan ketidakmandirian perempuan. Jika perempuan hanya terkurung di rumah, maka ia tidak mampu secara ekonomi dan bergantung pada laki-laki. Dengan teorinya, kaum nurture merupakan pendobrakan patriarki yang justru dilegalkan oleh teori nature.
                Dalam perkembangan sosiologi, ternyata dalil teori nurture bahwa pembagian kerja disebabkan karena faktor pembiasaan dari lingkungan sangat tepat. Citra seorang perempuan memang dibentuk oleh masyarakat dan bukan terberi secara alamiah. Maksudnya, banyak perempuan masa kini mulai merasa dirugikan oleh pembagian kerja itu dan mereka juga mulai mengkaji kembali “kodrat” perempuan sebagaimana yang diberikan oleh teori nature.
                Karena tidak lagi mau tergantung pada laki-laki, maka perempuan masa kini cenderung untuk mencari juga penghasilan sendiri dalam rangka memenuhi kebutuhan keluarganya. Dengan kata lain, perempuan berusaha untuk tidak menjadi subordinasi laki-laki, yang kemudian menjadi diri sendiri yang bebas dan mandiri. Gebrakan kaum nurture telah merubah pola masyarakat. 
Penutup
                Gerakan perempuan seperti ini harus didukung, bukan justru dikekang seperti yang dilakukan oleh sebagian orang khususnya laki-laki yang tidak mau merasa disaingi. Pada dasarnya kemandirian perempuan dan pembebasan dirinya dari subordinasi laki-laki merupakan pembebasan umat manusia (termasuk di dalamnya laki-laki) dari ketimpangan dalam masyarakat. Perempuan tidak harus tinggal terus dalam rumah yang membuatnya tidak dapat mengembangkan diri. Mereka juga hendaknya dapat mengaktualisasikan diri di ranah publik yang menumbuhkan kepercayaan diri dalam kesederajatan dengan laki-laki.

Kamis, 10 Mei 2012

Teori Peran (Role Theory)


Menurut Robert Linton (1936), teori peran menggambarkan interaksi sosial dalam terminologi aktor-aktor yang bermain sesuai dengan apa-apa yang ditetapkan oleh budaya. Sesuai dengan teori ini, harapan-harapan peran merupakan pemahaman bersama yang menuntun kita untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Menurut teori ini seseorang yang mempunyai peran tertentu misalnya sebagai dokter, mahasiswa, orang tua, wanita, dan lain sebagainya, diharapkan agar seseorang tadi berperilaku sesuai dengan peran tersebut. Mengapa seseorang mengobati orang lain, karena dia adalah seorang dokter. Jadi karena statusnya adalah dokter maka dia harus mengobati pasien yang datang kepadanya. Perilaku ditentukan oleh peran sosial. Kemudian, sosiolog yang bernama Glen Elder (1975) membantu memperluas penggunaan teori peran.
Pendekatannya yang dinamakan “life-course” memaknakan bahwa setiap masyarakat mempunyai harapan kepada setiap anggotanya untuk mempunyai perilaku tertentu sesuai dengan kategori-kategori usia yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Contohnya, sebagian besar warga Amerika Serikat akan menjadi murid sekolah ketika berusia empat atau lima tahun, menjadi peserta pemilu pada usia delapan belas tahun, bekerja pada usia tujuh belah tahun, mempunyai istri/suami pada usia dua puluh tujuh, pensiun pada usia enam puluh tahun.
Di Indonesia berbeda, usia sekolah dimulai sejak tujuh tahun, punya pasangan hidup sudah bisa usia tujuh belas tahun, pensiun usia lima puluh lima tahun. Urutan tadi dinamakan “tahapan usia” (age grading). Dalam masyarakat kontemporer kehidupan kita dibagi ke dalam masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa, dan masa tua, di mana setiap masa mempunyai bermacam-macam pembagian lagi.

Rabu, 09 Mei 2012

Masyarakat Tradisional, Masyarakat Transisi, Masyarakat Modern, masyarakat Pedesaan dan Masyarakat Perkotaan


A. Masyarakat Tradisional 

1. Pengertian Masyarakat Tradisional
Apakah yang dimaksud dengan masyarakat tradisional ? Masyarakat tradisional adalah masyarakat yang kehidupannya masih banyak dikuasai oleh adat istiadat lama. Adat istiadat adalah suatu aturan yang sudah mantap dan mencakup segala konsepsi sistem budaya yang mengatur tindakan atau perbuatan manusia dalam kehidupan sosialnya. Jadi, masyarakat tradisional di dalam melangsungkan kehidupannya berdasarkan pada cara-cara atau kebiasaan-kebiasaan lama yang masih diwarisi dari nenek moyangnya. Kehidupan mereka belum terlalu dipengaruhi oleh perubahan-perubahan yang berasal dari luar lingkungan sosialnya. Kebudayaan masyarakat tradisional merupakan hasil adaptasi terhadap lingkungan alam dan sosial sekitarnya tanpa menerima pengaruh luar. Jadi, kebudayaan masyarakat tradisional tidak mengalami perubahan mendasar. Karena peranan adat-istiadat sangat kuat menguasai kehidupan mereka. 

Masyarakat tradisional hidup di daerah pedesaan yang secara geografis terletak di pedalaman yang jauh dari keramaian kota. Masyarakat ini dapat juga disebut masyarakat pedesaan atau masyarakat desa. Masyarakat desa adalah sekelompok orang yang hidup bersama, bekerja sama, dan berhubungan erat secara tahan lama, dengan sifat-sifat yang hampir seragam. Istilah desa dapat merujuk pada arti yang berbeda-beda, tergantung dari sudut pandangnya.
Secara umum desa memiliki 3 unsur, yaitu :
1) Daerah dan letak, yang diartikan sebagai tanah yang meliputi luas, lokasi dan batas-batasnya yang merupakan lingkungan geografis;
2) Penduduk; meliputi jumlah, struktur umur, struktur mata pencaharian yang sebagian besar bertani, serta pertumbuhannya.
3) Tata kehidupan; meliputi corak atau pola tata pergaulan dan ikatan-ikatan warga desa.
Ketiga unsur dari desa tersebut tidak lepas satu sama lain, melainkan merupakan satu kesatuan
Secara sosiologis pengertian desa memberikan penekanan pada kesatuan masyarakat pertanian dalam suatu masyarakat yang jelas menurut susunan pemerintahannya. Bila kita amati secara fisik, desa diwarnai dengan kehijauan alamnya, kadang-kadang dilingkungi gunung-gunung, lembah-lembah atau hutan, dan umumnya belum sepenuhnya digarap manusia.

Secara sosial kehidupan di desa sering dinilai sebagai kehidupan yang tenteram, damai, selaras, jauh dari perubahan yang dapat menimbulkan konflik. Oleh karena itu, desa dianggap sebagai tempat yang cocok untuk menenangkan pikiran atau melepaskan lelah dari kehidupan kota. Akan tetapi, sebaliknya, adapula kesan yang menganggap masyarakat desa adalah bodoh, lambat dalam berpikir dan bertindak, sulit menerima pembaharuan, mudah ditipu dan sebagainya. Kesan semacam ini timbul karena masyarakat kota hanya mengamati kehidupan desa secara sepintas dan kurang mengetahui tentang kehidupan mereka sebenarnya.

Namun demikian, perlu kita pahami bahwa tidak semua masyarakat desa dapat kita sebut sebagai masyarakat tradisional, sebab ada desa yang sedang mengalami perubahan ke arah kemajuan dengan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama. Jadi, masyarakat desa yang dimaksud sebagai masyarakat tradisional dalam pembahasan ini adalah mereka yang berada di pedalaman dan kurang mengalami perubahan atau pengaruh dari kehidupan kota.

2. Ciri-Ciri Masyarakat Tradisional
Ciri yang paling pokok dalam kehidupan masyarakat tradisional adalah ketergantungan mereka terhadap lingkungan alam sekitarnya. Faktor ketergantungan masyarakat tradisional terhadap alam ditandai dengan proses penyesuaian terhadap lingkungan alam itu.
Jadi, masyarakat tradisional, hubungan terhadap lingkungan alam secara khusus dapat dibedakan dalam dua hal, yaitu :
1) Hubungan langsung dengan alam, dan
2) Kehidupan dalam konteks yang agraris.
Dengan demikian pola kehidupan m masyarakat tradisional tersebut ditentukan oleh 3 faktor, yaitu :
1) Ketergantungan terhadap alam,
2) Derajat kemajuan teknis dalam hal penguasaan dan penggunaan alam, dan
3) Struktur sosial yang berkaitan dengan dua faktor ini, yaitu struktur sosial geografis serta struktur pemilikan dan penggunaan tanah.

B. Masyarakat Transisi
1. Pengertian Masyarakat Transisi
Masyarakat transisi ialah masyarakat yang mengalami perubahan dari suattu masyarakat ke masyarakat yang lainnya. Misalnya masyarakat pedesaan yang mengalami transisi ke arah kebiasaan kota, yaitu pergeseran tenaga kerja dari pertanian, dan mulai masuk ke sektor industri.
2. Ciri-Ciri Masyarakat Transisi
Ciri-ciri masyarakat transisi :
a. Adanya pergeseran dalam bidang, misalnya pekerjaan, seperti pergeseran dari tenaga kerja pertanian ke sektor industri
b. Adanya pergeseran pada tingkat pendidikan. Di mana sebelumnya tingkat pendidikan rendah, tetapi menjadi sekrang mempunya tingkat pendidikan yang meningkat.
c. Mengalami perubahan ke arah kemajuan
d. Masyarakat sudah mulai terbuka dengan perubahan dan kemajuan jaman.
e. Tingkat mobilitas masyarakat tinggi.
f. Biasanya terjadi pada masyarakat yang sudah memiliki akses ke kota misalnya jalan raya.

C. Masyarakat Modern
1. Pengertian Masyarakat Modern
Apakah yang dimaksud dengan masyarakat modern ? masyarakat modern adalah masyarakat yang sebagian besar warganya mempunyai orientasi nilai budaya yang terarah ke kehidupan dalam peradaban dunia masa kini. Masyarakat modern relatif bebas dari kekuasaan adat-istiadat lama. Karena mengalami perubahan dalam perkembangan zaman dewasa ini. Perubahan-Perubahan itu terjadi sebagai akibat masuknya pengaruh kebudayaan dari luar yang membawa kemajuan terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam mencapai kemajuan itu masyarakat modern berusaha agar mereka mempunyai pendidikan yang cukup tinggi dan berusaha agar mereka selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi seimbang dengan kemajuan di bidang lainnya seperti ekonomi, politik, hukum, dan sebagainya.

Bagi negara-negara sedang berkembang seperti halnya Indonesia. Pada umumnya masyarakat modern ini disebut juga masyarakat perkotaan atau masyarakat kota.
Pengertian kota secara sosiologi terletak pada sifat dan ciri kehidupannya dan bukan ditentukan oleh menetapnya sejumlah penduduk di suatu wilayah perkotaan. Dari pengertian di atas, dapat diartikan bahwa tidak semua warga masyarakat kota dapat disebut masyarakat modern, sebab banyak orang kota yang tidak mempunyai orientasi nilai budaya yang terarah ke kehidupan peradaban dunia masa kini, misalnya gelandangan atau orang yang tidak jelas pekerjaan dan tempat tinggal.
2. Ciri-Ciri Masyarakat Modern
Alam tidak lagi hal yang amat vital dalam menunjang kehidupan mereka seperti yang dialami masyarakat tradisional. Sebaliknya alam dikendalikan dengan kemampuan pengetahuan mereka dalam menunjang kehidupan yang lebih baik.
Masyarakat kota yang hidupnya mengalami gejala modernisasi umumnya hidup dari sektor industri, selain itu mereka juga hidup dari sektor perdagangan kepariwisataan, dan jasa lainnya. Jadi, kota yang sebagian besar warganya terlibat dalam kegiatan itu disebut kota industri. Sistem mata pencaharian sektor industri mempengaruhi segi-segi kehidupan sosial masyarakat modern antara lain mempengaruhi pembentukan sistem pelapisan sosial, organisasi sosial, pola-pola perilaku, nilai dan norma sosial, kekuasaan dan wewenang dan segi-segi kehidupan lainnya yang merupakan ciri-ciri masyarakat modern.

D. Masyarakat Pedesaan
1. Pengertian Masyarakat Pedesaan
Masyarakat pedesaan ialah masyarakat yang mendiami suatu wilayah tertentu yang ukurannya lebih kecil dari wilayah kota. Masyarakat desa adalah bentuk persekutuan abadi antara manusia dan institusinya dalam wilayah setempat yaitu tempat mereka tinggal di rumah-rumah pertanian yang tersebar dan di kampung yang biasanya menjadi pusat kegiatan bersama. Sering disebut dengan masyarakat pertanian / pedesaan.
2. Ciri-Ciri Masyarakat Desa
Roucek – Warren
Ciri-ciri desa adalah :
- Kelompok primer merupakan kelompok dominan
- Hubungan antarwarga bersfiat akrab dan awet
- Homogen dalam berbagi aspeknya
- Mobilitas sosial rendah
- Keluarga lebih dilihat fungsinya secara ekonomis sebagai unit produksi
- Proporsi anak lebih besar
Mayor Polak
- Bersifat kekeluargaan
- Bersifat koeltif dalam pembagian dan pengerjaan tanah
- Bersifat kesatuan ekonomis, yaitu dapat memenuhi kebutuhan sendiri (subsistensi)
Bauchmant
- Jumlah penduduk kecil
- Sebagian besar penduduk dari pertanian
- Dikuasai alam
- Homogen
- Mobilitas rendah
- Hubungan intim
Talcott Parson
Afektifitas : Hubungannya dengan perasaan kasih sayang, cinta, kesetiaan, dan kemesraan. Wujudnya berupa sikap tolong menolong.
- Bersifat kolektif dalam pembagian dan pengerjaan tanah.
- Bersfiat kesatuan ekonomis , yaitu dapat memenuhi kebutuhan sendiri (subsistensi)
Bauchmant
- Jumlah penduduk kecil
- Sebagian besar penduduk hidup dari pertanian
- Dikuasai alam
- Homogen
- Mobilitas rendah
- Hubungan intim
Talcott Parson
Afektifitas : hubungannya dengan perasaan kasih sayang, cinta, kesetiaan, dan kemesraan. Wujudnya berupa sikap tolong menolong terhadap orang lain.
Orientasi kolektif : meningkatkan kebersamaan, tidak suka menonjolkan diri, tidak (enggan) berbeda pendapat
Partikularisme : semua hal yang berhubungan dengan apa yang khusus untuk tempat atau daerah tertentu saja, perasaan subjektif, rasa kebersamaan
Askripsi : berhubungan dengan mutu atau sifat khusus yang tidak diperoleh berdasarkan suatu usaha yang disengaja, tetapi lebih merupakan suatu keadaan yang sudah merupakan kebiasaan atau keharusan
Kekaburan (Diffusenses) : sesuatu yang tidak jelas terutama dalam hubungan antarpribadi, tanpa ketegasan yang dinyatakan secara eksplisit (tidak to the point).
3. Tipologi Perkembangan Desa
Perkembangan desa mengikuti pola sebagai berikut :
1) Desa Tradisional (Pradesa)
Pada masyarakat suku terasing yang masih bergantung pada alam (cara bercocok tanam, cara memasak makanan, cara pemeliharaan kesehatan) kondisi masyarakat relatif statis tradisional masyarakat tergantung pada keterampilan dan kemampuan pemimpin (kepala suku).
2) Desa Swadaya
Sudah mampu mengolah alam untuk mencukup kebutuhan sendiri sudah mengenal sistem iritasi sehingga tidak tergantung curah hujan.
3) Desa Swakarsa (Desa peralihan)
Sudah menuju ke arah kemajuan benih-benih demokrasi sudah mulai tumbuh 9tidak lagi tergantung pada pemimpin) mobilitas sosial sudah mulai ada baik vertikal maupun horizontal.

4) Desa Swasembada
Masyarakat sudah tergolong maju sudah mengenal mekanisasi dan teknologi ilmiah partisipasi masyarakat dalam bidang pembangunan sudah efektif.

E. Masyarakat Perkotaan
1. Pengertian Masyarakat Perkotaan
Masyarakat perkotaan adalah masyarakat yang sebagian besar warganya mempunyai orientasi nilai budaya yang terarah ke kehidupan dalam peradaban dunia masa kini.
2. Ciri – Ciri Masyarakat Kota
a. Ciri – Ciri Kehidupan Masyarakat Kota Sebagai berikut :
- Pembagian kerja sudah terspesialisasi dengan jelas
- Organisasi sosial lebih berdasar pada pekerjaan dan kelas sosial daripada kekeluargaan
- Lembaga pemerintahan lebih maju berdasar teritoritum daripada kekeluargaan t
- Terdapat sistem perdagangan dan pertukaran
- Mempunyai sarana komunikasi dan telekomunikasi yang lengkap
- Berteknologi yang rasional.
b. Ciri-ciri masyarakat kota menurut Talcott Parson antara lain :
- Netralitas efektif, memperhatikan sikap netral, mulai sikap acuh tak acuh sampai tidak memperdulikan jika menurut pendapatnya tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan pribadinya.
- Orientasi diri, menonjolkan kepentingan pribadi dan tidak segan-segan menentang jika dirasa tidak cocok atau diasakan melanggar kepentingannya
- Universalisme, berpikir objektif, menerima segala sesuatu secara objektif
- Prestasi, suka mengejar prestasi, karena prestasi mendorong orang terus maju.
- Spesifitas, menujukkan sesuatu yang jelas dan tegas dalam hubungan antara pribadi, maksudnya niat dinyatakan secara langsung (to the point).

Bentuk Keluarga yang dianut oleh Masyarakat Lamaholot Kabupaten Flores Timur

BAB I
PENDAHULUAN

 A.    Latar Belakang
            Keluarga merupakan kesatuan masyarakat yang terkecil, yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anaknya (keluarga inti/batih). Pada umumnya sebuah keluarga tersusun dari orang-orang yang saling berhubungan darah dan atau perkawinan meskipun tidak selalu. Saling berbagi atap (rumah), meja makan, makanan, uang, bahkan emosi, dapat menjadi faktor untuk mendefinisikan sekelompok orang sebagai suatu keluarga
            Berdasarkan definisi diatas suatu keluarga terbentuk melalui perkawinan, yaitu ikatan lahir batin seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera. Pembahasan mengenai keluarga dalam sistem kekerabatan tidak lepas dari system perkawinan yang berlaku dalam suatu masyarakat, karena untuk memahami sistem kekerabatan dalam suatu masyarakat, harus dimulai dengan pemahaman akan sistem perkawinannya.

 B.     Rumusan Masalah
Bagaimanakah Bentuk Keluarga yang dianut oleh Masyarakat Lamaholot Kabupaten Flores Timur?.
 C.    Tujuan
·        Menjelaskan konsep dan bentuk keluarga menurut keebudayaan masyarakat lamaholot.
·        Sebagai tugas penunjang perkuliahan mata kuliah Sosiologi keluarga.
 D.     Manfaat
·        Sebagai bahan tambahan dalam materi tentang bentuk-bentuk keluarga pada mata kuliah sosiologi keluarga.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi Dan Bentuk-Bentuk Keluarga
A.     Pengertian Keluarga
            Keluarga adalah suatu kelompok yang terdiri dari dua orang atau lebih yang direkat oleh ikatan darah, perkawinan, atau adopsi serta tinggal bersama. Para sosiolog berpendapat bahwa asal-usul pengelompokkan keluarga bermula dari peristiwa perkawinan. Akan tetapi asal-usul keluarga dapat pula terbentuk dari hubungan antara laki-laki dan perempuan dengan status yang berbeda, kemudian mereka tinggal bersama memiliki anak. Anak yang dihasilkan dari hidup bersama memiliki anak. Anak yang dihasilkan dari hidup bersama ini disebut keturunan dari kelompok itu. Dari sinilah pengertian keluarga dapat dipahami dalam berbagai segi. Pertama, dari segi orang yang melangsungkan perkawinan yang sah serta dikaruniai anak. Kedua, lelaki dan perempuan yang hidup bersama serta memiliki seorang anak, namun tidak pernah menikah. Ketiga, dari segi hubungan jauh antara anggota keluarga, namun masih memiliki ikatan darah. Keempat, keluarga yang mengadopsi anak orang lain (Suhendi, 2001 : 41)
            Dengan demikian, jelaslah bahwa dalam keluarga terdapat hubungan fungsional di antara anggotanya. Yang perlu diperhatikan disini ialah faktor yang mempengaruhi hubungan itu, yaitu struktur keluarga itu sendiri. Struktur keluarga banyak menentukan pola hubungan dalam keluarga. Pada keluarga batih hubungan antara anggota mungkin saja lebih kuat karena terdiri dari jumlah anggota yang terbatas. Akan tetapi, pada keluarga luas, hubungan antaranggota keluarga sangat renggang karena terdiri dari jumlah anggota yang banyak dengan tempat terpisah.
            Dengan memperhatikan berbagai definisi di atas, Horton dan Hurt memberikan beberapa pilihan dalam mendefinisikan keluarga yaitu :

a)                     Suatu kelompok yang mempunyai nenek moyang yang sama.
b)                    Suatu kelompok kekerabatan yang disatukan oleh darah dan perkawinan.
c)                     Pasangan perkawinan dengan atau tanpa anak.
d)                    Pasangan tanpa nikah yang mempunyai anak.
e)                     Para anggota suatu komunitas yang biasanya mereka ingin disebut sebagai keluarga (Horton dan Hurt, 1996 : 267)

B.      Fungsi Keluarga
            Setelah sebuah keluaraga terbentuk, anggota keluarga yang ada di dalamnya memiliki tugas masing-masing. Suatu pekerjaan yang harus dilakukan dalam kehidupan keluarga inilah yang disebut fungsi. Jadi fungsi keluarga adalah suatu pekerjaan atau tugas yang harus dilakukan di dalam atau di luar keluarga.
            Fungsi disini mengacu pada peran individu dalam mengetahui, yang pada akhirnya mewujudkan hak dan kewajiban. Mengetahui fungsi keluarga sangat penting sebab dari sinilah terukur dan terbaca sosok keluarga yang ideal dan harmonis. Munculnya krisis dalam rumah tangga dapat juga sebagai akibat tidak berfungsinya salah satu fungsi keluarga.
            Fungsi keluarga terdiri dari fungsi biologis, fungsi pendidikan, fungsi keagamaan, fungsi perlindungan, fungsi sosialisasi anak, fungsi rekreatif, dan fungsi ekonomis. Sementara itu, dalam tulisan Horton dan Hurt, fungsi keluarga meliputi, fungsi pengaturan seksual, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi, fungsi afeksi, fungsi penentuan status, fungsi perlindungan, dan fungsi ekonomi.
            Di antara semua fungsi tersebut, ada tiga pokok fungsi keluarga yang dulu diubah dan digantikan orang lain, yaitu fungsi biologis, fungsi sosialisasi anak, dan fungsi afeksi :
a.                      Fungsi Biologis
                        Fungsi biologis berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan seksual suami istri. Keluarga adalah lembaga pokok yang secara absah memberikan uang bagi pengaturan dan pengorganisasian kepuasan seksual. Namun, ada pula masyarakat yang memberikan toleransi yang berbeda-beda terhadap lembaga yang mengambil alih fungsi pengaturan seksual ini, misalnya tempat-tempat hiburan dan panti pijat. Kenyataan ini pada dasarnya merupakan suatu     kendala dan sekaligus suatu hal yang sangat rumit untuk dipikirkan. Kelangsungan sebuah keluarga, banyak ditentukan oleh keberhasilan dalam menjalani fungsi biologis ini. Apabila salah satu pasangan kemudian tidak berhasil menjalankan fungsi biologisnya, dimungkinkan akan terjadinya gangguan dalam keluarga yang biasanya berujung pada perceraian dan poligami.
b.                      Fungsi Sosialisasi Anak
                   Fungsi sosialisasi anak menunjuk pada perana keluarga dalam membentuk kepribadian anak. Melalui fungsi ini, keluarga berusaha mepersiapkan bekal selengkap-lengkapnya kepada anak dengan memperkenalkan pola tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita, dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat serta mempelajari peranan yang diharapkan akan dijalankan mereka. Dengan demikian, sosialisasi berarti melakukan proses pembelajaran terhadap seorang anak. Belajar tidak selalu diartikan sebagai suatu aktivitas yang sifatnya semata-mata intelektual, tetapi juga mencakup hal lain, yaitu pengamatan. Sejalan dengan itu, baik atau buruknya sosialisasi dalam keluarga akan berpengaruh terhadap anggotanya.
                      Abdullah Nasikh Ulwan (1989 : 17) berpendapat bahwa anak adalah amanat yang   berada pada pundak orang tuanya. Kalbunya yang murni bersih, seperti mutiara yang tak ternilai. Bila dibiasakan dan dididik kebaikan, dia akan tumbuh menjadi orang baik dan berbahagia di dunia dan akhirat. Apabila dibiarkan pada kejelekan seperti layaknya hewan, niscaya dia akan rusak dan menderita. Kalau sudah begitu keadaannya, sukar untuk dididik dan mengarahkan. Apabila orang tua tidak menjalankan fungsi sosialisasi dengan baik, problem yang muncul adalah anak kehilangan perhatian. Setelah itu dia mencari tokoh lain selain orang tuanya untuk ditiru.
                    Semua masyarakat sangat menggantungkan diri kepada keluarga dalam hal sosialisasi sebagai persiapan untuk memasuki usia dewasa agar anak dapat berperan secara positif di tengah-tengah masyarakat. Salah satu caranya adalah melalui pemberian model bagi anak. Anak belajar menjadi laki-laki, suami, dan ayah dengan keluarga yang betul-betul dipimpin oleh seorang laki-laki. Sosialisasi akan menemukan kesulitan apabila model semacam itu tidak ada dan bila anak harus mengandalkan diri pada model yang disaksikan dalam keluarga lain. Dalam proses sosialisasi tidak ada peran pengganti ayah dan ibu yang betul-betul memuaskan. Sejumlah studi mutakhir menyimpulkan bahwa alasan utama perbedaan prestasi intelektual anak adalah suasana dalam keluarga. Studi semacam ini semakin menegaskan bahwa keluarga merupakan faktor penentu utama bagi sosialisasi anak.
c.                       Fungsi Afeksi
                        Salah satu kebutuhan dasar manusia ialah kebutuhan kasih sayang atau rasa dicinta.             Pandangan psikiatrik mengatakan bahwa penyebab utama gangguan emosional, perilaku dan bahkan kesehatan fisik adalah ketiadaan cinta , yakni tidak adanya kehangatan dan hubungan kasih sayang dalam suatu lingkungan yang intim. Banyak fakta menunjukkan bahwa kebutuhan persahabatan dan keintiman sangat penting bagi anak. Data-data menunjukkan bahwa kenakalan anak serius adalah salah satu cirri khas dari anak yang tidak mendapat perhatian atau   merasakan kasih sayang.
                        Belakangan ini banyak muncul kelompok sosial yang mampu memenuhi kebutuhan persahabatan dan kasih sayang. Tentu saja kelompok ini secara tidak langsung merupakan perluasan dari fungsi afeksi dalam keluarga. Akan tetapi, perlu diwaspadai apabila kebutuhan afeksi itu kemudian diambil alih oleh kelompok lain di luar keluarga. Kecendrungan dewasa ini menunjukkan bahwa, fungsi afeksi telah bergeser kepada orang lain, terutama bagi mereka yang orang tuanya bekerja di luar rumah. Konsekuensinya, anak tidak lagi dekat secara psikologis karena anak akan menganggap orang tuanya tidak memiliki perhatian. Lebih buruk lagi istri yang bekerja diluar rumah, senantiasa memanjakan anak-anaknya dengan barang-barang mewah (benda yang bersifat materialistis), padahal kebutuhan sesunggunhya bagi anak bukanlah hal     itu, melainkan keintiman, perhatian, dan kasih sayang tulus dari ibunya. Lebih jauh lagi, seorang ibu yang bekerja di luar rumah akan memanjakan anaknya. Hal itu dilakukan karena adanya “rasa bersalah” terhadap anaknya akibat tidak bertemu seharian. Oleh karena itu, dampak lain yang muncul adalah longgarnya nilai control orang tua terhadap anak dan pemberian toleransi terhadap perbuatan anak yang melanggar etika.      
   
C.      Bentuk-Bentuk Keluarga
            Bentuk keluarga sangat berbeda antara satu masyarakat dan masyarakat lainnya. Bentuk di sini dapat dilihat dari jumlah anggota keluarga, yaitu keluarga batih dan keluarga luas, dilihat dari sistem yang digunakan, yaitu keluarga pangkal (sistem family) dan keluarga gabungan (joint family), dan dilihat dari segi status individu dalam keluarga, yaitu keluarga prokreasi dan keluarga orientasi.

a.      Keluarga Batih (Nuclear Family)
                        Keluarga batih ialah kelompok orang yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anaknya yang belum memisahkan diri dan membentuk keluarga tersendiri. Keluarga ini bisa juga disebut sebagai keluarga conjugal (conjugal family), yaitu keluarga yang terdiri dari pasangan suami istri bersama anak-anaknya.
                       Menurut Hutter, keluarga inti (nuclear family) dibedakan dengan keluarga konjugal (conjugal family). Keluarga conjugal terlihat lebih otonom, dalam arti tidak memiliki keterikatan secara ketat dengan keluarga luas, sedangkan keluarga inti tidak memiliki otonomi karena memiliki ikatan garis keturunan, baik patrilineal maupun matrilinieal (Suhendi dkk, 2001 : 54).Hubungan intim antara suami dan istri lebih mendalam, namun biasanya dikaitkan dengan suatu hubungan pertukaran yang menyenangkan. Apabila suami mampu memberikan suasana kepuasan batin dan materi, hubungan suami dan istri menyebabkan mekanisme pertukaran sosial tidak berjalan, terbuka peluang bentuk berpisah.

b.      Keluarga Luas (Extended Family)
                        Keluarga luas, yaitu keluarga yang terdiri dari semua orang yang berketurunan dari kakek dan nenek yang sama termasuk keturunan masing-masing isteri dan suami. Dengan kata lain, keluarga luas adalah keluarga batih ditambah kerabat lain yang memiliki hubungan erat dan senantiasa dipertahankan. Sebutan keluarga yang diperluas (Extended Family) digunakan bagi suatu sistem yang masyarakatnya menginginkan beberapa generasi yang hidup dalam satu atap rumah tangga. Sistem semacam ini ada pada orang-orang China yaitu bila seorang laki-laki telah menikah, ia tinggal bersama dengan keluarga yang telah menikah dan bersama anak-anaknya yang lain yang belum menikah, juga bersama cicitnya dari garis keturunan laki-laki.
                 Istilah keluarga luas seringkali digunakan untuk mengacu pada keluarga batih berikut keluarga lain yang memiliki hubungan baik dengannya dan tetap memelihara dan mempertahankan hubungan tersebut. Keluarga luas tentu saja memiliki keuntungan tersendiri. Pertama, keluarga luas banyak ditemukan di desa-desa dan bukan pada daerah industri.
                Keluarga luas sangat cocok dengan kehidupan desa, yang dapat memberikan pelayanan sosial bagi anggota-anggotanya. Kedua, keluarga luas mampu mengumpulkan modal ekonomi secara besar. Proses pengambilan keputusan dalam keluarga luas terlihat sangat berbelit-belit. Penyelesaian masalah waris yang dikehendaki jatuh pada anak yang paling tua sering mengakibatkan benturan dan gesekan pada istri-istri muda lainnya. Peraturan mengenai hal itu tidak secara terperinci memuaskan mereka. Inilah posisi kehidupan keluarga yang memperlihatkan segi-segi kooperatif pada satu sisi dan pertentangan pada sisi lainnya.

c.       Keluarga Pangkal (Stem Family)
               Seperti keluarga inti, tetapi bedanya keluarga pangkal tergolong jenis keluarga yang menggunakan sistem pewarisan kekayaan pada satu anak yang paling tua. Anak yang paling tua bertanggung jawab mengurus orang tuanya sampai meninggal dan juga mengurus adik-adiknya yang perempuan sampai menikah, begitu pula terhadap saudara laki-lakinya yang lain. Dengan demikian, pada jenis keluarga ini pemusatan kekayaan hanya pada satu orang. Keluarga pangkal ini banyak terdapat di Eropa zaman feodal. Para petani imigran AS dan di zaman Tokugawa Jepang.

d.      Keluarga Gabungan (Joint Family)
                        Keluarga gabungan, yaitu keluarga yang terdiri atas orang-orang yang berhak atas hasil milik keluarga, antara lain saudara laki-laki setiap generasi. Di sini, tekanannya hanya pada saudara laki-laki karena menurut adat Hindu, anak laki-laki sejak kelahirannya mempunyai hak atas kekayaan keluarga. Walaupun antara saudara laki-laki itu tinggal terpisah, mereka manganggap dirinya sebagai suatu keluarga gabungan dan tetap menghormati kewajiban mereka bersama, termasuk membuat anggaran perawatan harta keluarga dan menetapkan anggaran belanja. Lelaki tertua yang menjadi kepala keluarga tidak bisa menjual harta milik bersama itu.

B.     Keluarga Dalam Sistem Kekerabatan Masyarakat Lamaholot Kabupaten Flores Timur
            Kelompok kekerabatan dalam masyarakat Lamaholot  merupakan gabungan dari keluarga luas yang merasa diri berasal dari satu nenek moyang, dan yang satu sama lainnya terikat melalui garis keturunan laki-laki (clan patrilineal). Mereka masih saling mengenal dan bergaul karena sebagian besar biasanya masih tinggal bersama dalam satu wilayah walaupun sebagian lainnya sudah tidak dalam satu rumah. Namun hal ini tidak berarti bahwa anggota clan yang berada diluar wilayah lantas menjadi asing atau tak dikenal, karena ikatan darah itu amat kuat mengusai mereka. Biasanya, ikatan kekerabatan dalam clan itu mempunyai fungsi-fungsi, misalnya:
1)              Memiliki sekumpulan harta pusaka/hak milik komunal clan itu, (misalnya tanah  warisan nenek moyang,  mas kawin, dan lain-lain).
2)              Melakukan usaha produktif dalam lapangan mata pencaharian hidup sebagai satu kesatuan.
3)              Gotong royong dalam melakukan aktivitas sebagai satu kesatuan. Mengatur perkawinan dengan memelihara adat  exogami.
            Ikatan kekerabatan yang paling kecil dalam masyarakat Lamaholot adalah keluarga inti (nuclear family) yang terdiri dari bapak, ibu, anak-anak. Untuk merumuskan ikatan kekerabatan secara tegas dalam masyarakatnya adalah hal yang tidak mudah, karena di satu pihak keluarga inti bagi konsep masyarakat setempat bisa berarti bapak, ibu, anak-anak, kakek, nenek, atau keluarga dekat lainnya yang masih serumah dengan keluarga inti itu. Disisi lain,masyarakat Lamaholot itu sendiri dapat dikatakan sebagai suatu kekerabatan dalam scop yang lebih luas karena masing-masing mereka terikat akan rasa emosional satu sama lain. Dalam hal pembagian warisan dikehendaki jatuh pada anak laki-laki yang paling tua.
            Apabila melihat konsep bentuk keluarga diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat lamaholot cendrung tergolong dalam keluarga luas, sebab dalam satu rumah tinggal dua atau lebih keluarga inti dan memiliki hubungan kekerabatan yang erat serta memiliki keterikatan akan rasa emosional satu sama lainnya. Selain itu dalam proses penyelesaian masalah pembagian warisan akan terasa berbelit dan akan memicu terjadinya konflik, sebab warisan sepenuhhnya jatuh pada anak laki-laki tertua.


BAB III
PENUTUP
  
A.      Kesimpulan
            Keluarga merupakan kesatuan masyarakat yang terkecil, yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anaknya (keluarga inti/batih). Pada umumnya sebuah keluarga tersusun dari orang-orang yang saling berhubungan darah dan atau perkawinan meskipun tidak selalu. suatu keluarga terbentuk melalui perkawinan, yaitu ikatan lahir batin seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera.
            Bentuk keluarga sangat berbeda antara satu masyarakat dan masyarakat lainnya. Bentuk di sini dapat dilihat dari jumlah anggota keluarga, yaitu keluarga batih dan keluarga luas, dilihat dari sistem yang digunakan, yaitu keluarga pangkal (sistem family) dan keluarga gabungan (joint family), dan dilihat dari segi status individu dalam keluarga, yaitu keluarga prokreasi dan keluarga orientasi.
            Masyarakat Lamaholot cendrung tergolong dalam keluarga luas, sebab dalam satu rumah tinggal dua atau lebih keluarga inti dan memiliki hubungan kekerabatan yang erat serta memiliki keterikatan akan rasa emosional satu sama lainnya. Selain itu dalam proses penyelesaian masalah pembagian warisan akan terasa berbelit dan memiliki potensi  memicu terjadinya konflik, sebab warisan sepenuhnya jatuh pada anak laki-laki tertua.

B.     Saran
            Saran yang dapat berikan adalah dalam pembagian warisan hendaknya dilakukan pembagian secara adil sehingga tidak memicu terjadinya konflik yang diakibatkan oleh pembagian warisan yang tidak adil.

Teori Struktural Fungsional


ASUMSI DASAR
Teori fungsionalisme struktural adalah suatu bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan fungsional yaitu August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer. Pemikiran structural fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap masyarakat sebagai organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan tersebut merupakan hasil atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup. Sama halnya dengan pendekatan lainnya pendekatan structural fungsional ini juga bertujuan untuk mencapai keteraturan sosial.
Teori struktural fungsional ini awalnya berangkat dari pemikiran Emile Durkheim, dimana pemikiran Durkheim ini dipengaruhi oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer. Comte dengan pemikirannya mengenai analogi organismik kemudian dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer dengan membandingkan dan mencari kesamaan antara masyarakat dengan organisme, hingga akhirnya berkembang menjadi apa yang disebut dengan requisite functionalism, dimana ini menjadi panduan bagi analisa substantif Spencer dan penggerak analisa fungsional. Dipengaruhi oleh kedua orang ini, studi Durkheim tertanam kuat terminology organismik tersebut. Durkheim mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan dimana didalamnya terdapat bagian – bagian yang dibedakan.
Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai fungsi masing – masing yang membuat sistem menjadi seimbang. Bagian tersebut saling interdependensi satu sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak berfungsi maka akan merusak keseimbangan sistem. Pemikiran inilah yang menjadi sumbangsih Durkheim dalam teori Parsons dan Merton mengenai struktural fungsional. Selain itu, antropologis fungsional-Malinowski dan Radcliffe Brown juga membantu membentuk berbagai perspektif fungsional modern.Selain dari Durkheim, teori struktural fungsional ini juga dipengaruhi oleh pemikiran Max Weber. Secara umum, dua aspek dari studi Weber yang mempunyai pengaruh kuat adalah :
Visi substantif mengenai tindakan sosial.
Strateginya dalam menganalisa struktur sosial.
Pemikiran Weber mengenai tindakan sosial ini berguna dalam perkembangan pemikiran Parsons dalam menjelaskan mengenai tindakan aktor dalam menginterpretasikan keadaan.
Adapula asumsi dasar menurut Talcott Parsons. Menurut Parson, ada empat komponen penting dalam teori struktural fungsional, yaitu : Adaptation, Goal Atainment, Integration, dan Latency (AGIL).
a. Adaptation : sistem sosial (masyarakat) selalu berubah untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi, baik secara internal ataupun eksternal.
b. Goal Attainment : setiap sistem sosial (masyarakat) selalu ditemui tujuan-tujuan bersama yang ingin dicapai oleh system sosial tersebut.
c. Integration : setiap system sosial selalu terintegrasi dan cendeung bertahan pada equilibrium (keseimbangan). Kecenderungan ini dipertahankan memalui kemampuan bertahan hidup demi system.
d. Latency : system sosial selalu berusaha mempertahankan bentuk-bentuk interaksi yang relatif tetap dan setiap perilaku menyimpang selalu di akomodasi melalui kesepakatan-kesepakatan yang diperbaharui terus menerus.
B TEORI-TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL
1. Teori fungsionalisme Parsons
Suatu keyakinan akan perubahan dan kelangsungan sistem. Pada saat depresi kala itu, teorinya merupakan teori sosial yang optimistis. Akan tetapi agaknya optimisme Parson itu dipengaruhi oleh keberhasilan Amerika dalam Perang Dunia II dan kembalinya masa kemewahan setelah depresi yang parah itu. Bagi mereka yang hidup dalam sistem yang kelihatannya galau dan kemudian diikuti oleh pergantian dan perkembangan lebih lanjut maka optimisme teori Parsons dianggap benar. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Gouldner (1970: 142): ”untuk melihat masyarakat sebagai sebuah firma, yang dengan jelas memiliki batas-batas srukturalnya, seperti yang dilakukan oleh teori baru Parsons, adalah tidak bertentangan dengan pengalaman kolektif, dengan realitas personal kehidupan sehari-hari yang sama-sama kita miliki”.
2. Emile Durkheim
Masyarakat modern dilihat oleh Durkheim sebagai keseluruhan organis yang memiliki realitas tersendiri. Keseluruhan tersebut memiliki seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam keadaan normal, tetap langgeng. Bila mana kebutuhan tertentu tadi tidak dipenuhi maka akan berkembang suatu keadaan yang bersifat ”patologis”. Sebagai contoh dalam masyarakat modern fungsi ekonomi merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Bilamana kehidupan ekonomi mengalami suatu fluktuasi yang keras, maka bagian ini akan mempengaruhi bagian yang lain dari sistem itu dan akhirnya sistem sebagai keseluruhan. Suatu depresi yang parah dapat menghancurkan sistem politik, mengubah sistem keluarga dan menyebabkan perubahan dalam struktur keagamaan. Pukulan yang demikian terhadap sistem dilihat sebagai suatu keadaan patologis, yang pada akhirnya akan teratasi dengan sendirinya sehingga keadaan normal kembali dapat dipertahankan. Para fungsionalis kontemporer menyebut keadaan normal sebagai equilibrium, atau sebagai suatu sistem yang seimbang, sedang keadaan patologis menunjuk pada ketidakseimbangan atau perubahan sosial.
3. Bronislaw Malinowski dan A.R. Radcliffe-Brown
Malinowski dan Brown dipengaruhi oleh ahli-ahli sosiologi yang melihat masyarakat sebagai organisme hidup, dan keduanya menyumbangkan buah pikiran mereka tentang hakikat, analisa fungsional yang dibangun di atas model organis. Di dalam batasannya tentang beberapa konsep dasar fungsionalisme dalam ilmu-ilmu sosial, pemahaman Radcliffe-Brown (1976:503-511) mengenai fungsionalisme struktural merupakan dasar bagi analisa fungsional kontemporer : Fungsi dari setiap kegiatan yang selalu berulang, seperti penghukuman kejahatan, atau upacara penguburan, adalah merupakan bagian yang dimainkannya dalam kehidupan sosial sebagai keseluruhan dan, karena itu merupakan sumbangan yang diberikannya bagi pemeliharaan kelangsungan struktural (Radcliffe-Brown (1976:505).
4. Coser dan Rosenberg (1976: 490)
melihat bahwa kaum fungsionalisme struktural berbeda satu sama lain di dalam mendefinisikan konsep-konsep sosiologi mereka. Sekalipun demikian adalah mungkin untuk memperoleh suatu batasan dari dua konsep kunci berdasarkan atas kebiasaan sosiologis standar. Struktur menunjuk pada seperangkat unit-unit sosial yang relatif stabil dan berpola”, atau ”suatu sistem dengan pola-pola yang relatif abadi”.Lembaga-lembaga sosial seperti keluarga, agama, atau pemerintahan, termasuk struktur kelembagaan partai politik adalah contoh dari struktur atau sistem sosial yang masing-masing merupakan bagian yang saling bergantungan satu sama lain (norma-norma mengatur status dan peranan) menurut beberapa pola tertentu.
Coser dan Rosenberg (1976: 490) membatasi fungsi sebagai ”konsekuensi-konsekuensi dari setiap kegiatan sosial yang tertuju pada adaptasi penyesuaian suatu struktur tertentu dari bagian-bagian komponennya”. Dengan demikian fungsi menunjuk kepada proses dinamis yang terjadi di dalam struktur itu. Hal ini melahirkan masalah tentang bagaimana berbagai norma sosial yang mengatur status-status, ini memungkinkan status-status tersebut saling berhubungan satu sama lain dan berhubungan dengan sistem yang lebih luas.
5. Di tahun 1959 Kingsley Davis
Dalam pidato kepemimpinannya di hadapan anggota ”American Sociological Association”, bahkan melangkah lebih jauh dengan menyatakan bahwa fungsionalisme struktural sudah tidak dapat lagi dipisahkan dari sosiologi itu sendiri. Tetapi dalam sepuluh tahun terakhir ini teori fungsionalisme struktural itu semakin banyak mendapat serangan sehingga memaksa para pendukungnya untuk mempertimbangkan kembali pernyataan mereka tentang potensi teori tersebut sebagai teori pemersatu dalam sosiologi.
6.Robert K. Merton
Sebagai seorang yang mungkin dianggap lebih dari ahli teori lainnya telah mengembangkan pernyataan mendasar dan jelas teori-teori fungsionalisme, adalah seorang pendukung yang mengajukan tuntutan lebih terbatas bagi perspektif ini. Mengakui bahwa pendekatan ini telah membawa kemajuan bagi pengetahuan sosiologis, ia juga mengakui bahwa fungsionalisme struktural mungkin tidak akan mampu mengatasi seluruh masalah sosial (Merton, 1975: 25). Pada saat yang sama Merton tetap sebagai pelindung setia dari analisa fungsional, yang dinyatakannya mampu melahirkan ”suatu masalah yang saya anggap menarik dan cara berfikir yang saya anggap lebih efektif dibanding dengan cara berfikir lain yang pernah saya temukan” (Merton, 1975: 30). Di dalam kata-kata Coser dan Rosenberg (1976: 492) model fungsionalisme struktural Merton ini adalah merupakan ”pernyataan yang paling canggih dari pendekatan fungsionalisme yang tersedia dewasa ini.”Model analisa fungsional Merton merupakan hasil perkembangan pengetahuan yang menyeluruh dari teori-teori klasik yang menggunakan penulis besar seperti Max Weber.
Pengaruh Weber dapat dilihat dalam batasan Merton tentang birokrasi. Mengikuti Weber, Merton (1957: 195-196) mengamati beberapa hal berikut di dalam organisasi birokrasi modern :
(1) birokrasi merupakan struktur sosial yang terorganisir secara rasional dan formal;
(2) ia meliputi suatu pola kegiatan yang memiliki batas-batas yang jelas;
(3) kegiatan-kegiatan tersebut secara ideal berhubungan dengan tujuan-tujuan organisasi;
(4) jabatan-jabatan dalam organisasi diintegrasikan ke dalam keseluruhan struktur birokratis; (5) Status-status dalam birokrasi tersusun ke dalam susunan yang bersifat hirarkis;
(6) berbagai kewajiban serta hak-hak di dalam birokrasi dibatasi oleh aturan-aturan yang terbatas serta terperinci;
(7) otoritas pada jabatan, bukan pada orang;
(8) hubungan-hubungan antara orang-orang dibatasi secara formal. Organisasi-organisasi yang berskala besar, termasuk universitas atau akademi, memberikan ilustrasi yang baik tentang model birokrasi yang diuraikan oleh Weber dan Merton.
Paradigma analisa fungsional Merton, mencoba membuat batasan-batasan beberapa konsep analitis dasar dari bagi analisa fungsional dan menjelaskan beberapa ketidakpastian arti yang terdapat di dalam postulat-postulat kaum fungsional. Merton mengutip tiga postulat yang terdapat di dalam analisa fungsional yang kemudian disempurnakannya satu demi satu.
Postulat pertama, adalah kesatuan fungsional masyarakat yang dapat dibatasi sebagai ”suatu keadaan di mana seluruh bagian dari sistem sosial bekerja sama dalam suatu tingkat keselarasan atau konsistensi internal yang memadai, tanpa menghasilkan konflik yang berkepanjangan yang tidak dapat diatasi atau diatur” (Merton, 1967: 80). Merton menegaskan bahwa kesatuan fungsioanal yang sempurna dari suatu masyarakat adalah ”bertentangan dengan fakta”. Sebagai contoh dia mengutip beberapa kebiasaan masyarakat yang dapat bersifat fungsional bagi suatu kelompok (menunjang integrasi dan kohesi suatu kelompok) akan tetapi disfungsional (mempercepat kehancuran) bagi kelompok lain. Para sesepuh sosiologi melihat agama, misalnya, sebagai suatu unsur penting (kalau tidak esensial) di dalam masyarakat. Kita memiliki banyak contoh di mana agama mampu mempertinggi tingkat kohesi suatu masyarakat, kita juga mempunyai banyak kasus di mana agama memiliki konsekuensi disintegratif.
Paradigma Merton menegaskan bahwa disfungsi (elemen disintegratif) tidak boleh diabaikan hanya karena orang begitu terpesona oleh fungsi-fungsi positif (elemen integratif). Sebagai contoh, beliau juga menegaskan bahwa apa yang fungsional bagi suatu kelompok (masyarakat Katolik atau Protestan di kota Belfast, misalnya) dapat tidak fungsional bagi keseluruhan bagi kota Belfast. Oleh karena itu batas-batas kelompok yang dianalisa harus diperinci.
Postulat kedua, yaitu fungsionalisme universal, terkait dengan postulat pertama. Fungsionalisme universal menganggap bahwa ”seluruh bentuk sosial dan kebudayaan yang sudah baku memiliki fungsi-fungsi positif” (Merton, 1967: 84), seperti apa yang telah kita ketahui Merton memperkenalkan konsep disfungsi maupun fungsi positif. Beberapa perilaku sosial jelas bersifat disfungsioanal. Merton menganjurkan agar elemen-elemen kultural seharusnya dipertimbangkan menurut kriteria keseimbangan konsekuensi fungsional (net balance of functional consequences), yang menimbang fungsi positif relatif terhadap fungsi negatif. Sehubungan dengan kasus agama yang dicontohkan tadi, seorang fungsionalis harus mencoba mengkaji fungsi positif maupun negatifnya, dan kemudian menetapkan keseimbangan di antara keduanya.
Postulat ketiga melengkapi trio postulat fungsionalisme, adalah postulat indispensability. Ia menyatakan bahwa ”dalam setiap tipe peradaban, setiap kebiasaan, ide, obyek materil, dan kepercayaan memenuhi beberapa fungsi penting, memiliki sejumlah tugas yang harus dijalankan, dan merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan sistem sebagai keseluruhan” (Merton, 1967: 86).
7.Teori struktural fungsional sebagaimana Garna (1996: 54)
Mmengemukakan, Pertama, bahwa fungsionalisme sebagai kaidah atau teori dapat menjelaskan gejala-gejala dan institusi sosial dengan memfokuskan kepada fungsi yang dibentuk dan disusun oleh gejala sosial dan institusi sosial tersebut. Dari sisi kaidah tersebut, maka fungsional memperhatikan sistem dan pola komunikasi sebagai fakta sosial (social facts). Kedua, struktur sosial merujuk pada pola hubungan dalam setiap satuan sosial yang mapan dan sudah memiliki identitas sendiri; sedangkan fungsi merujuk pada kegunaan atau manfaat dari tiap satuan sosial tadi.
8.Menurut Sendjaja (1994: 32)
Mengemukakan bahwa model struktural fungsional mempunyai ciri sebagai berikut:
(1) sistem dipandang sebagai satu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang saling berkaitan;
(2) adanya spesifikasi lingkungan yakni spesifikasi faktor-faktor eksternal yang bisa mempengaruhi sistem;
(3) adanya ciri-ciri, sifat-sifat yang dipandang esensial untuk kelangsungan sistem;
(4) adanya spesifikasi jalan yang menentukan perbedaan nilai; dan
(5) adanya aturan tentang bagaimana bagian-bagian secara kolektif beroperasi sesuai ciri-cirinya untuk menjaga eksistensi sistem.
9.Francesca Cancian
Memberikan sumbangan pemikiran bahwa sistem sosial merupakan sebuah model dengan persamaan tertentu. Analogi yang dikembangkan didasarkan pula oleh ilmu alam, sesuatu yang sama dengan para pendahulunya. Model ini mempunyai beberapa variabel yang membentuk sebuah fungsi. Penggunaan model sederhana ini tidak akan mampu memprediksi perubahan atau keseimbangan yang akan terjadi, kecuali kita dapat mengetahui sebagaian variabel pada masa depan. Dalam sebuah sistem yang deterministik, seperti yang disampaikan oleh Nagel, keadaan dari sebuah sistem pada suatu waktu tertentu merupakan fungsi dari keadaan tersebut beberapa waktu lampau.
10. Kingsley Davis dan Wilbert Moore
Menurut mereka, dalam masyarakat pasti ada stratifikasi atau kelas, stratifikasi sosial merupakan fenomena yang penting dan bersifat universal. Stratifikasi adalah keharusan fungsional, semua masyarakat memerlukan sistem seperti dan keperluan ini sehingga memerlukan stratifikasi. Mereka memandang sistem stratifikasi sebagai sebuah struktur, dan tidak mengacu pada stratifikasi individu pada system stratifikasi, melainkan pada sistem posisi (kedudukan).
Pusat perhatiannya ialah bagaimana agar posisi tertentu memiliki tingkat prestise berbeda dan bagaimana agar individu mau mengisi posisi tersebut. Masalah fungsionalnya ialah bagaimana cara masyarakat memotivasi dan menempatkan setiap individu pada posisi yang tepat. Secara stratifikasi masalahnya ialah bagaimana meyakinkan individu yang tepat pada posisi tertentu dan membuat individu tersebut memiliki kualifikasi untuk memegang posisi tersebut.
Penempatan sosial dalam masyarakat menjadi masalah karena tiga alasan mendasar,
- Posisi tertentu lebih menyenangkan daripada posisi yang lain
- Posisi tertentu lebih penting untuk menjaga keberlangsungan masyarakat daripada posisi
yang lain.
- Setiap posisi memiliki kualifikasi dan bakat yang berbeda.
Posisi yang tinggi tingkatannya dalam stratifikasi cenderung untuk tidak diminati tetapi penting untuk menjaga keberlangsungan masyarakat, juga memerlukan bakat dan kemampan terbaik. Pada keadaan ini masyarakat dianjurkan agar memberi reward kepada individu yang menempati posisi tersebut agar dia menjalankan fungsinya secara optimal. Jika ini tidak dilakukan maka masyarakat akan kekurangan individu untuk mengisi posisi tesebut yang berakibat pada tercerai-berainya masyarakat.
Teori Konflik
A. ASUMSI DASAR
1) Masyarakat senantiasa berada di dalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir. Proses perubahan masyarakat adat sederhana menjadi modern.
2) Masyarakat mengandung konflik di dalam dirinya (konflik antar individu, antar kelompok, individu dengan kelompok).
3) Setiap unsur dalam masyarakat memberikan sumbangan terjadinya disintegrasi / perubahan sosial (sosek : perbedaan tingkat kemakmuran, status sosial, budaya : pruralisme etnis, agama, politik : simbolisme ketidak adilan).
B. TEORI-TEORI KONFLIK
1. Teori Hubungan Masyarakat
Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah:
• Meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antara kelompok-kelompok yang mengalami konflik.
• Mengusahakan toleransi dan agar masyarakat lebih bisa saling menerima keragaman yang ada di dalamnya.
2. Teori Negosiasi Prinsip
Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah:
• Membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk memisahkan perasaan pribadi dengan berbagai masalah dan isu, dan memampukan mereka untuk melakukan negosiasi berdasarkan kepentingan-kepentingan mereka daripada posisi tertentu yang sudah tetap.
• Melancarkan proses pencapaian kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak atau semua pihak.
3. Teori Kebutuhan Manusia
Berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia – fisik, mental, dan sosial – yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi, dan otonomi sering merupakan inti pembicaraan. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah:
• Membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi, dan menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu.
• Agar pihak-pihak yang mengalami konflik mencapai kesepakatan untuk memenuhi kebutuhan dasar semua pihak.
4. Teori Identitas
Berasumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah:
• Melalui fasilitas lokakarya dan dialog antara pihak-pihak yang mengalami konflik mereka diharapkan dapat mengidentifikasi ancaman-ancaman dan ketakutan yang mereka rasakan masing-masing dan untuk membangun empati dan rekonsiliasi di antara mereka.
• Meraih kesepakatan bersama yang mengakui kebutuhan identitas pokok semua pihak.
5. Teori Kesalahpahaman Antarbudaya
Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidak cocokan dalam cara-cara komunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah:
• Menambah pengetahuan pihak-pihak yang mengalami konflik mengenai budaya pihak lain.
• Mengurangi stereotip negatif yang mereka miliki tentang pihak lain.
• Meningkatkan keefektifan komunikasi antarbudaya.
6. Teori Transformasi Konflik
Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah:
• Mengubah berbagai struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan, termasuk kesenjangan ekonomi.
• Meningkatkan jalinan hubungan dan sikap jangka panjang di antara pihak-pihak yang mengalami konflik.
• Mengembangkan berbagai proses dan sistem untuk mempromosikan pemberdayaan, keadilan , perdamaian, pengampunan , rekonsiliasi dan pengakuan.
7. Teori Konflik Karl Marx (1818- 1883)
Teori konflik  Karl Marx didasarkan pada pemilikan sarana- sarana produksi sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam masyarakat.
Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke- 19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar. Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkis, kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi..  Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu eksis (false consiousness) dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa adanya tetap terjaga.
Ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan tersebut terjadi jika kaum proletar telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka.
8. Teori Konflik Georg Simmel
Simmel memandang pertikaian sebagai gejala yang tidak mungkin dihindari dalam masyarakat. Struktur sosial dilihatnya sebagai gejala yang mencakup pelbagai proses asosiatif dan disosiatif yang tidak mungkin terpisah- pisahkan, namun dapat dibedakan dalam analisa.
Menurut Simmel konflik tunduk pada perubahan. Coser mengembangkan proposisi dan memperluas konsep Simmel tersebut dalam menggambarkan kondisi- kondisi di mana konflik secara positif membantu struktur sosial dan bila terjadi secara negatif akan memperlemah kerangka masyarakat.
9. Teori Konflik Menurut Ralf Dahrendorf
teori konflik Ralf Dahrendorf merupakan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta modifikasi teori sosiologi Karl Marx. Karl Marx berpendapat bahwa pemilikan dan Kontrol sarana- sarana berada dalam satu individu- individu yang sama.
Menurut Dahrendorf tidak selalu pemilik sarana- sarana juga bertugas sebagai pengontrol apalagi pada abad kesembilan belas. Bentuk penolakan tersebut ia tunjukkan dengan memaparkan perubahan yang terjadi di masyarakat industri semenjak abad kesembilan belas. Diantaranya:
• Dekomposisi modal
Menurut Dahrendorf timbulnya korporasi- korporasi dengan saham yang dimiliki oleh orang banyak, dimana tak seorangpun memiliki kontrol penuh merupakan contoh dari dekomposisi modal.
• Dekomposisi Tenaga kerja
Di abad spesialisasi sekarang ini mungkin sekali seorang atau beberapa orang mengendalikan perusahaan yang bukan miliknya, seperti halnya seseorang atau beberapa orang yang mempunyai perusahaan tapi tidak mengendalikanya. Karena zaman ini adalah zaman keahlian dan spesialisasi, manajemen perusahaan dapat menyewa pegawai- pegawai untuk memimpin perusahaanya agar berkembang dengan baik.
• Timbulnya kelas menengah baru
Pada akhir abad kesembilan belas, lahir kelas pekerja dengan susunan yang jelas, di mana para buruh terampil berada di jenjang atas sedang buruh biasa berada di bawah.
Penerimaan Dahrendorf pada teori konflik Karl Marx adalah ide mengenai pertentangan kelas sebagai satu bentuk konflik dan sebagai sumber perubahan sosial. Kemudian dimodifikasi oleh berdasarkan perkembangan yang terjadi akhir- akhir ini. Dahrendorf mengatakan bahwa ada dasar baru bagi pembentukan kelas, sebagai pengganti konsepsi pemilikan sarana produksi sebagai dasar perbedaan kelas itu. Menurut Dahrendorf hubungan- hubungan kekuasaan yang menyangkut bawahan dan atasan menyediakan unsur bagi kelahiran kelas.
Dahrendorf mengakui terdapat perbedaan di antara mereka yang memiliki sedikit dan banyak kekuasaan. Perbedaan dominasi itu dapat terjadi secara drastis. Tetapi pada dasarnya tetap terdapat dua kelas sosial yaitu, mereka yang berkuasa dan yang dikuasai. Dalam analisanya Dahrendorf menganggap bahwa secara empiris, pertentangan kelompok mungkin paling mudah di analisa bila dilihat sebagai pertentangan mengenai ligitimasi hubungan- hubungan kekuasaan. Dalam setiap asosiasi, kepentingan kelompok penguasa merupakan nilai- nilai yang merupakan ideologi keabsahan kekuasannya, sementara kepentingan- kepentingan kelompok bawah melahirkan ancaman bagi ideologi ini serta hubungan- hubungan sosial yang terkandung di dalamnya.
Contoh: Kasus kelompok minoritas yang pada tahun 1960-an kesadarannya telah memuncak, antara lain termasuk kelompok- kelompok kulit hitam, wanita, suku Indian dan Chicanos. Kelompok wanita sebelum tahun 1960-an merupakan kelompok semu yang ditolak oleh kekuasan di sebagian besar struktur sosial di mana mereka berpartisipasi. Pada pertengahan tahun 1960-an muncul kesadaran kaum wanita untuk menyamakan derajatnya dengan kaum laki- laki.
10. Teori konflik aliran Marx
Beranggapan asas kepada pembentukan sesebuah masyarakat adalah disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi seperti tanah, modal, industri dan perdagangan. Asas kepada perubahan sesebuah struktur masyarakat adalah disebabkan faktor-faktor berkaitan dengan pengeluaran ekonomi. Faktor lain seperti agama, institusi politik, kekeluargaan dan pendidikan pula menjadi superstruktur masyarakat. Sebarang perubahan yang berlaku pada superstruktur masyarakat hanya akan berlaku jika terdapat perubahan pada asasnya.
11. Teori Konflik aliran Weber.
Weber menghujahkan bahawa perubahan sosial masyarakat bukanlah hanya disebabkan oleh faktor konflik kelas sosial yang berpunca daripada faktor ekonomi semata-mata tetapi turut berpunca daripada pelbagai factor.
12. Teori Konflik Menurut Lewis A. Coser.
Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya.
Seluruh fungsi positif konflik tersebut dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok yang sedang mengalami konflik dengan kelompok lain. Misalnya, pengesahan pemisahan gereja kaum tradisional (yang memepertahankan praktek- praktek ajaran katolik pra- Konsili Vatican II) dan gereja Anglo- Katolik (yang berpisah dengan gereja Episcopal mengenai masalah pentahbisan wanita). Perang yang terjadi bertahun- tahun yang terjadi di Timur Tengah telah memperkuat identitas kelompok Negara Arab dan Israel.
Coser melihat katup penyelamat berfungsi sebagai jalan ke luar yang meredakan permusuhan, yang tanpa itu hubungan- hubungan di antara pihak-pihak yang bertentangan akan semakin menajam. Katup Penyelamat (savety-value) ialah salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial. Katup penyelamat merupakan sebuah institusi pengungkapan rasa tidak puas atas sebuah sistem atau struktur.
Contoh: Badan Perwakilan Mahasiswa atau panitia kesejahteraan Dosen. Lembaga tersebut membuat kegerahan yang berasal dari situasi konflik tersalur tanpa menghancurkan sistem tersebut.
Menurut Coser konflik dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Konflik Realistis, berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan- tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan. Contohnya para karyawan yang mogok kerja agar tuntutan mereka berupa kenaikan upah atau gaji dinaikkan.
2. Konflik Non- Realistis, konflik yang bukan berasal dari tujuan- tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Coser menjelaskan dalam masyarakat yang buta huruf pembasan dendam biasanya melalui ilmu gaib seperti teluh, santet dan lain- lain. Sebagaimana halnya masyarakat maju melakukan pengkambinghitaman sebagai pengganti ketidakmampuan melawan kelompok yang seharusnya menjadi lawan mereka.
Menurut Coser terdapat suatu kemungkinan seseorang terlibat dalam konflik realistis tanpa sikap permusuhan atau agresi.
Contoh: Dua pengacara yang selama masih menjadi mahasiswa berteman erat. Kemudian setelah lulus dan menjadi pengacara dihadapkan pada suatu masalah yang menuntut mereka untuk saling berhadapan di meja hijau. Masing- masing secara agresif dan teliti melindungi kepentingan kliennya, tetapi setelah meniggalkan persidangan mereka melupakan perbedaan dan pergi ke restoran untuk membicarakan masa lalu.
Akan tetapi apabila konflik berkembang dalam hubungan- hubungan yang intim, maka pemisahan (antara konflik realistis dan non-realistis) akan lebih sulit untuk dipertahankan.
Coser menyatakan bahwa, semakin dekat suatu hubungan semakin besar rasa kasih saying yang sudah tertanam, sehingga semakin besar juga kecenderungan untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Sedang pada hubungan- hubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa permusuhan dapat relatif bebas diungkapkan. Hal ini tidak selalu bisa terjadi dalam hubungan- hubungan primer dimana keterlibatan total para partisipan membuat pengungkapan perasaan yang demikian merupakan bahaya bagi hubungan tersebut. Apabila konflik tersebut benar- benar melampaui batas sehingga menyebabkan ledakan yang membahayakan hubungan tersebut.
Contoh: Seperti konflik antara suami dan istri, serta konflik sepasang kekasih.
Coser. Mengutip hasil pengamatan Simmel yang meredakan ketegangan yang terjadi dalam suatu kelompok. Dia menjelaskan bukti yang berasal dari hasil pengamatan terhadap masyarakat Yahudi bahwa peningkatan konflik kelompok dapat dihubungkan dengan peningkatan interaksi dengan masyarakat secara keseluruhan. Bila konflik dalam kelompok tidak ada, berarti menunjukkan lemahnya integrasi kelompok tersebut dengan masyarakat. Dalam struktur besar atau kecil konflik in-group merupakan indikator adanya suatu hubungan yang sehat. Coser sangat menentang para ahli sosiologi yang selalu melihat konflik hanya dalam pandangan negatif saja. Perbedaan merupakan peristiwa normal yang sebenarnya dapat memperkuat struktur sosial. Dengan demikian Coser menolak pandangan bahwa ketiadaan konflik sebagai indikator dari kekuatan dan kestabilan suatu hubungan.