Jumat, 08 Juni 2012

Pertukaran Sosial di Kota Kupang


MASA euforia Pilkada Kota Kupang pada putaran pertama telah selesai. Masyarakat telah menilai para kandidat yang “mendadak merakyat“  untuk mengambil hati rakyat Kota Kupang dan berupaya meyakini  masyarakat pemilih dengan berbagai program pro-rakyat yang acceptable dan tentunya accountable. Kota Kupang seakan sepi dan bebas dari hiruk pikuk atribut-atribut kampanye sebagi simbol status dan kekuatan politik yang ditawarkan oleh masing-masing kandidat wali kota ataupun wakil wali kota kepada rakyat. Fakta ini secara sosiologis menarik untuk dikaji dengan tujuan memberikan pencerahan kepada masyarakat tentang  “model pertukaran sosial“ yang dilakukan oleh para kandidat wali kota dan wakil wali kota Kupang untuk mendapat simpati atau bahkan empati publik dalam pengambilan keputusan politik, pada pesta demokrasi sebagai penentu siapa yang dipilih oleh rakyat. 
Pertukaran Sosial
Secara teoritis, demokrasi adalah sebuah bentuk pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Mekanismenya dilaksanakan melalui sistem pemilihan umum yang terbuka untuk seluruh warga Negara yang telah memenuhi syarat untuk memilih. Demokrasi memberikan kebebasan dan posisi sama kepada manusia baik laki-laki maupun perempuan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan politik untuk memilih wakil rakyat  dan atau pemimpin (negara dan kepala daerah) sebagai penerima mandat dan bertanggung-jawab atas kinerjanya kepada rakyat, dan mandat itu bisa ditarik kembali bila dianggap perlu. Berkaitan dengan nilai-nilai demokrasi tersebut, saya mencoba menganalisis bagaimanakah ‘proses pertukaran sosial’ melalui biaya politik yang dikeluarkan dan dilakukan oleh para kandidat wali kota dan wakil wali kota Kupang dalam kampanye politiknya kepada masyarakat agar mendapat mandat rakyat dalam pemilihan kepala daerah. Dengan mengutip pendapat para pendukung teori pertukaran sosial yang berangkat dari asumsi do ut des, yang artinya, “saya memberi supaya engkau memberi“  dan interaksi sosial diantara manusia bertolak dari asumsi memberi dan mendapatkan kembali dalam jumlah yang sama. Dengan asumsi seperti ini kita bisa melihat bahwa dalam proses kampaye politik, baik sosialisasi terbatas maupun kampanye akbar yang dilakukan oleh para kandidadat wali kota dan wawali ada banyak pertukaran atau tingkah laku yang dipertukarkan dalam kehidupan sosial.
Fakta sosial ini bisa kita telusuri, misalnya dengan berbagai deklarasi dari berbagai kelompok masyarakat yang mengatasnamakan lembaga adat atau suku dan ataupun kelompok mahasiswa suku tertentu untuk memberikan dukungan politik kepada salah satu paket balon wali kota maupun wawali dalam kampanye terbatas. Menurut perspektif teori pertukaran sosial, interaksi sosial ini muncul karena adanya tingkah laku yang mendatangkan “imbalan” karena kelompok masyarakat cenderung tertarik pada pencitraan figur dan program-program yang ditawarkan oleh para kandidat dan akan membawa keuntungan bagi kelompok apabila calon yang diusung menang dalam pilkada karena ada misi yang disepakati bersama.
Di sini nampak ada pertukaran sosial  dengan konsekuensi biaya politik yang harus disediakan oleh para kandidat dalam bentuk konsumsi, baliho, spanduk dan berbagai atribut lainnya. Begitupun dengan sosialisasi politik melalui media massa dalam bentuk pencitraan, dan kampanye akbar yang membutuhkan mobilisasi dukungan politik dengan menggalang massa dalam jumlah yang besar, jelas banyak biaya politik sebagai imbalan yang harus dikeluarkan oleh para kandidat wali kota dan wakil wali kota sebagai konsekuensi logis dan risiko politik agar mereka mendapat simpati masyarakat.

Pintu ‘Money Politics’
Rakyat sebagai pemegang kekuasaan dan kedaulatan tertinggi dalam pesta demokrasi, harus menempatkan harga diri diatas segalanya, setiap lima tahun para calon elite politik dan penguasa selalu bertamu kepada masyarakat terutama kaum yang termarginalkan dengan berbagai janji-janji muluk untuk mensejahterakan rakyat. Faktanya tidak ada keadilan sosial bagi masyarakat, tetapi sebaliknya keadilan sosial bagi keluarga dan kroni dari elite penguasa. Mengapa hal itu terjadi? Menurut saya karena biaya politik sudah dikeluarkan mulai dari tahap pencalonan untuk membeli partai, dan biaya kampanye yang dikeluarkan untuk konsultan kampanye, pengerah massa yang kita kenal dengan koordinator lapangan atau tim sukses, berbagai atribut seperti kaos sebagai cenderamata untuk para pendukungnya, dan para pemuka masyarakat, agama dan adat yang bisa dibeli dengan uang, serta kerumunan massa bayaran.
Kondisi ini juga berlanjut sampai ke saat-saat pemungutan suara dan perhitungan hasil serta, tentu saja yang tidak boleh dilupakan adalah rangkaian ritual dan pesta perayaan sang pemenang. Fakta ini telah mengaburkan  makna demokrasi mana yang legal dan ilegal. Semuanya harus ada imbalan dalam setiap pertukaran sosial. Oleh karena itu, rakyat harus menempatkan harga diri sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, hak politik rakyat Kota Kupang, jangan mau dibeli dengan uang. Rakyat harus mau dan tegas menutup pintu dari segala intimidasi dan pembelian suara sebagai wujud politik pertukaran uang. Kalau tidak demikian, maka kedaulatan dan kesejahteraan hanya ada di tangan elite penguasa dan kroninya, bukan pada rakyat.
Indonesia pernah punya Soekarno, seorang arsitek dan politikus, NTT pernah punya Eltari,  keduanya selalu dikenang rakyatnya karena jujur dan merakyat. Kota Kupang butuh pemimpin yang harus menjadi “gincu dan garam ” bagi rakyatnya, artinya dia ‘tampak dan terasa’. Gincu (tampak) karena mempunyai kecerdasan dan terdidik sehingga membawa kesejukan dan kesejahteraan bagi kemanusiaan, memiliki etika dan nurani, memiliki konsep terhadap perubahan dan penegakan keadilan dan tidak korup dan tanpa primordial.Garam (terasa),  karena mempunyai kemauan untuk kerja keras dan saling menolong bagi yang tertindas, tidak ada intimidasi dan politik uang untuk membeli suara rakyat, program-programnya menyentuh dan membawa kesejahteraan bagi semua masyarakat bukan untuk kepentingan kelompok pendukungnya, serta tidak menggusur rakyat kecil (kaum marginal) atas nama pembangunan. Dan yang terpenting mempunyai integritas dengan Tuhan dan manusia. 
Oleh karena itu, apabila saya dan kita sekalian salah memilih pemimpin yang tidak komitmen dengan penderitaan rakyat, maka akibat yang harus dibayar oleh rakyat sangat mahal. Keadilan sosial bagi rakyat tidak akan ada dalam relasi sosial masyarakat Kota Kupang, tapi hanya pada sila dalam Pancasila.

Oleh :                    Balkis Soraya Tanof
     Waket Asosiasi Prodi Sosiologi se-Indonesia,
     Dosen Jurusan Sosiologi Fisip Undana Kupang

Sumber :             http://www.victorynewsmedia.com/v2/berita-5678-pertukaran-sosial--di-kota-kupang.html  . Jumat, 11 Mei 2012 - 18:07:53 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar