MASA euforia Pilkada Kota Kupang pada putaran pertama
telah selesai. Masyarakat telah menilai para kandidat yang “mendadak
merakyat“ untuk mengambil hati rakyat Kota Kupang dan berupaya meyakini
masyarakat pemilih dengan berbagai program pro-rakyat yang acceptable dan
tentunya accountable. Kota Kupang seakan sepi dan bebas dari hiruk pikuk
atribut-atribut kampanye sebagi simbol status dan kekuatan politik yang
ditawarkan oleh masing-masing kandidat wali kota ataupun wakil wali kota kepada
rakyat. Fakta ini secara sosiologis menarik untuk dikaji dengan tujuan memberikan
pencerahan kepada masyarakat tentang “model pertukaran sosial“ yang
dilakukan oleh para kandidat wali kota dan wakil wali kota Kupang untuk
mendapat simpati atau bahkan empati publik dalam pengambilan keputusan politik,
pada pesta demokrasi sebagai penentu siapa yang dipilih oleh rakyat.
Pertukaran Sosial
Secara teoritis, demokrasi adalah sebuah bentuk
pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Mekanismenya dilaksanakan melalui sistem pemilihan umum yang terbuka untuk seluruh
warga Negara yang telah memenuhi syarat untuk memilih. Demokrasi memberikan
kebebasan dan posisi sama kepada manusia baik laki-laki maupun perempuan untuk
terlibat dalam pengambilan keputusan politik untuk memilih wakil rakyat
dan atau pemimpin (negara dan kepala daerah) sebagai penerima mandat dan
bertanggung-jawab atas kinerjanya kepada rakyat, dan mandat itu bisa ditarik kembali
bila dianggap perlu. Berkaitan dengan nilai-nilai demokrasi tersebut, saya
mencoba menganalisis bagaimanakah ‘proses pertukaran sosial’ melalui biaya
politik yang dikeluarkan dan dilakukan oleh para kandidat wali kota dan wakil
wali kota Kupang dalam kampanye politiknya kepada masyarakat agar mendapat mandat
rakyat dalam pemilihan kepala daerah. Dengan mengutip pendapat para pendukung
teori pertukaran sosial yang berangkat dari asumsi do ut des, yang artinya,
“saya memberi supaya engkau memberi“ dan interaksi sosial diantara
manusia bertolak dari asumsi memberi dan mendapatkan kembali dalam jumlah yang
sama. Dengan asumsi seperti ini kita bisa melihat bahwa dalam proses kampaye
politik, baik sosialisasi terbatas maupun kampanye akbar yang dilakukan oleh
para kandidadat wali kota dan wawali ada banyak pertukaran atau tingkah laku
yang dipertukarkan dalam kehidupan sosial.
Fakta sosial ini bisa kita telusuri, misalnya dengan
berbagai deklarasi dari berbagai kelompok masyarakat yang mengatasnamakan
lembaga adat atau suku dan ataupun kelompok mahasiswa suku tertentu untuk
memberikan dukungan politik kepada salah satu paket balon wali kota maupun
wawali dalam kampanye terbatas. Menurut perspektif teori pertukaran sosial,
interaksi sosial ini muncul karena adanya tingkah laku yang mendatangkan
“imbalan” karena kelompok masyarakat cenderung tertarik pada pencitraan figur
dan program-program yang ditawarkan oleh para kandidat dan akan membawa
keuntungan bagi kelompok apabila calon yang diusung menang dalam pilkada karena
ada misi yang disepakati bersama.
Di sini nampak ada pertukaran sosial dengan
konsekuensi biaya politik yang harus disediakan oleh para kandidat dalam bentuk
konsumsi, baliho, spanduk dan berbagai atribut lainnya. Begitupun dengan
sosialisasi politik melalui media massa dalam bentuk pencitraan, dan kampanye
akbar yang membutuhkan mobilisasi dukungan politik dengan menggalang massa
dalam jumlah yang besar, jelas banyak biaya politik sebagai imbalan yang harus
dikeluarkan oleh para kandidat wali kota dan wakil wali kota sebagai
konsekuensi logis dan risiko politik agar mereka mendapat simpati masyarakat.
Pintu ‘Money Politics’
Rakyat sebagai pemegang kekuasaan dan kedaulatan
tertinggi dalam pesta demokrasi, harus menempatkan harga diri diatas segalanya,
setiap lima tahun para calon elite politik dan penguasa selalu bertamu kepada
masyarakat terutama kaum yang termarginalkan dengan berbagai janji-janji muluk
untuk mensejahterakan rakyat. Faktanya tidak ada keadilan sosial bagi
masyarakat, tetapi sebaliknya keadilan sosial bagi keluarga dan kroni dari
elite penguasa. Mengapa hal itu terjadi? Menurut saya karena biaya politik
sudah dikeluarkan mulai dari tahap pencalonan untuk membeli partai, dan biaya
kampanye yang dikeluarkan untuk konsultan kampanye, pengerah massa yang kita
kenal dengan koordinator lapangan atau tim sukses, berbagai atribut seperti
kaos sebagai cenderamata untuk para pendukungnya, dan para pemuka masyarakat,
agama dan adat yang bisa dibeli dengan uang, serta kerumunan massa bayaran.
Kondisi ini juga berlanjut sampai ke saat-saat pemungutan
suara dan perhitungan hasil serta, tentu saja yang tidak boleh dilupakan adalah
rangkaian ritual dan pesta perayaan sang pemenang. Fakta ini telah
mengaburkan makna demokrasi mana yang legal dan ilegal. Semuanya harus
ada imbalan dalam setiap pertukaran sosial. Oleh karena itu, rakyat harus
menempatkan harga diri sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, hak politik rakyat
Kota Kupang, jangan mau dibeli dengan uang. Rakyat harus mau dan tegas menutup
pintu dari segala intimidasi dan pembelian suara sebagai wujud politik
pertukaran uang. Kalau tidak demikian, maka kedaulatan dan kesejahteraan hanya
ada di tangan elite penguasa dan kroninya, bukan pada rakyat.
Indonesia pernah punya Soekarno, seorang arsitek dan
politikus, NTT pernah punya Eltari, keduanya selalu dikenang rakyatnya
karena jujur dan merakyat. Kota Kupang butuh pemimpin yang harus menjadi “gincu
dan garam ” bagi rakyatnya, artinya dia ‘tampak dan terasa’. Gincu (tampak)
karena mempunyai kecerdasan dan terdidik sehingga membawa kesejukan dan
kesejahteraan bagi kemanusiaan, memiliki etika dan nurani, memiliki konsep
terhadap perubahan dan penegakan keadilan dan tidak korup dan tanpa primordial.Garam
(terasa), karena mempunyai kemauan untuk kerja keras dan saling menolong
bagi yang tertindas, tidak ada intimidasi dan politik uang untuk membeli suara
rakyat, program-programnya menyentuh dan membawa kesejahteraan bagi semua
masyarakat bukan untuk kepentingan kelompok pendukungnya, serta tidak menggusur
rakyat kecil (kaum marginal) atas nama pembangunan. Dan yang terpenting
mempunyai integritas dengan Tuhan dan manusia.
Oleh karena itu, apabila saya dan kita sekalian salah memilih pemimpin yang tidak komitmen dengan penderitaan rakyat, maka akibat yang harus dibayar oleh rakyat sangat mahal. Keadilan sosial bagi rakyat tidak akan ada dalam relasi sosial masyarakat Kota Kupang, tapi hanya pada sila dalam Pancasila.
Oleh karena itu, apabila saya dan kita sekalian salah memilih pemimpin yang tidak komitmen dengan penderitaan rakyat, maka akibat yang harus dibayar oleh rakyat sangat mahal. Keadilan sosial bagi rakyat tidak akan ada dalam relasi sosial masyarakat Kota Kupang, tapi hanya pada sila dalam Pancasila.
Oleh : Balkis
Soraya Tanof
Waket Asosiasi Prodi Sosiologi se-Indonesia,
Dosen Jurusan Sosiologi Fisip Undana Kupang
Sumber : http://www.victorynewsmedia.com/v2/berita-5678-pertukaran-sosial--di-kota-kupang.html
. Jumat, 11 Mei 2012 - 18:07:53 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar