Selasa, 08 Mei 2012


ANTONIO Gramsci adalah figur yang amat fenomenal. Femia Joseph dalam tulisannya, Hegemony as Consciousness in The Thoughts of Antonio Gramsci (1975) misalnya bahkan mengatakan bahwa Gramsci merupakan pemikir politik terpenting setelah Karl Marx. Bahkan banyak pemikir yang mengatakan bahwa teori hegemoni ala Gramsci merupakan teori yang paling penting dikemukakan di abad XX.

Teori hegemoni menurut Gramsci, menisbatkan adanya pihak yang dikuasai untuk mematuhi penguasa. Pada saat itu, yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa, lebih dari itu mereka juga harus memberi persetujuan atas subordinasi mereka. Demikianlah yang dimaksud dengan “hegemoni” atau menguasai dengan “kepemimpinan moral dan intelektual” secara konsensional tersebut.

Buku ini merupakan buku terpenting Gramsci yang menunjukkan betapa intelektualisme dan gagasan besar tidak harus hidup dalam keindahan ruang alam raya yang seakan-akan bebas namun justru terpenjara, akan tetapi –seperti halnya buku ini– lahir dari sebuah pergulatan di dalam situasi di mana ruang dan waktu tak mengizinkan bertaburnya gagasan-gagasan politik ini. Buku ini ditulis di sebuah penjara yang pengap, gelap dengan kondisi penulisnya yang sakit-sakitan dan terus-menerus diteror rezim fasis saat itu.

Demikianlah seorang Gramsci, pemikir besar yang lahir dari situasi politik yang menyengsarakan, dan meninggal dalam ‘kesengsaraan’ pula. Ironisnya, kekuasaan fasis yang menindas membuatnya ia bahkan tidak pernah bagaimana wajah anak bungsunya, karena ia meninggal di penjara. Inilah arti kekejaman dari kediktatoran bagi seorang Gramsci. Namun demikian, di sisi lain kita mesti memahami bahwa kesengsaraan yang dialami merupakan fisik, yang kemudian tidak bisa kita bandingkan dengan warisan intelektualnya yang bisa kita nikmati sampai hari ini. Sang Gramsci meninggal dalam penjara di Roma, 27 April 1937.

Urgensi mempelajari ulang siapa sebenarnya, apa pikiran-pikirannya, dan latar belakang apa yang membuat Gramsci mempunyai pikiran tersebut, sebenarnya merupakan kekayaan tersendiri yang sangat berarti bagi dunia filsafat, dan dengan demikian manifestasinya dalam dunia politik. Bagi aktivis-aktivis pergerakan atau LSM di Indonesia, misalnya, dalam banyak hal Gramsci adalah sosok referensi yang penting.

Sayangnya, justru pikiran Gramsci yang ramai diperbincangkan dunia, terutama di era 60an-70an, justru di Indonesia terjadi sebaliknya. Saat rezim Orde Baru berkuasa dan beri’tikad buruk dan kejam terhadap segala jenis ‘penyimpangan ideologi’ yang dilakukan rakyatnya, adalah saat di mana pikiran-pikiran Gramsci tidak bisa disuarakan. Bahkan dalam lingkup akademis sekalipun. Lebih jauh, nasib kritikus Marxisme klasik ini menjadi semakin merana, karena hanya sekedar untuk pertimbangan pun diharamkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar