ASUMSI DASAR
Teori fungsionalisme struktural
adalah suatu bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di
abad sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan fungsional yaitu
August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer. Pemikiran structural fungsional
sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap masyarakat sebagai
organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan,
ketergantungan tersebut merupakan hasil atau konsekuensi agar organisme
tersebut tetap dapat bertahan hidup. Sama halnya dengan pendekatan lainnya
pendekatan structural fungsional ini juga bertujuan untuk mencapai keteraturan
sosial.
Teori struktural fungsional ini
awalnya berangkat dari pemikiran Emile Durkheim, dimana pemikiran Durkheim ini
dipengaruhi oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer. Comte dengan pemikirannya
mengenai analogi organismik kemudian dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer
dengan membandingkan dan mencari kesamaan antara masyarakat dengan organisme,
hingga akhirnya berkembang menjadi apa yang disebut dengan requisite
functionalism, dimana ini menjadi panduan bagi analisa substantif Spencer dan
penggerak analisa fungsional. Dipengaruhi oleh kedua orang ini, studi Durkheim
tertanam kuat terminology organismik tersebut. Durkheim mengungkapkan bahwa
masyarakat adalah sebuah kesatuan dimana didalamnya terdapat bagian – bagian
yang dibedakan.
Bagian-bagian dari sistem tersebut
mempunyai fungsi masing – masing yang membuat sistem menjadi seimbang. Bagian
tersebut saling interdependensi satu sama lain dan fungsional, sehingga jika
ada yang tidak berfungsi maka akan merusak keseimbangan sistem. Pemikiran
inilah yang menjadi sumbangsih Durkheim dalam teori Parsons dan Merton mengenai
struktural fungsional. Selain itu, antropologis fungsional-Malinowski dan
Radcliffe Brown juga membantu membentuk berbagai perspektif fungsional
modern.Selain dari Durkheim, teori struktural fungsional ini juga dipengaruhi
oleh pemikiran Max Weber. Secara umum, dua aspek dari studi Weber yang
mempunyai pengaruh kuat adalah :
Visi substantif mengenai tindakan
sosial.
Strateginya dalam menganalisa
struktur sosial.
Pemikiran Weber mengenai tindakan
sosial ini berguna dalam perkembangan pemikiran Parsons dalam menjelaskan
mengenai tindakan aktor dalam menginterpretasikan keadaan.
Adapula asumsi dasar menurut
Talcott Parsons. Menurut Parson, ada empat komponen penting dalam teori
struktural fungsional, yaitu : Adaptation, Goal Atainment, Integration, dan
Latency (AGIL).
a. Adaptation : sistem sosial
(masyarakat) selalu berubah untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan
yang terjadi, baik secara internal ataupun eksternal.
b. Goal Attainment : setiap
sistem sosial (masyarakat) selalu ditemui tujuan-tujuan bersama yang ingin
dicapai oleh system sosial tersebut.
c. Integration : setiap system
sosial selalu terintegrasi dan cendeung bertahan pada equilibrium
(keseimbangan). Kecenderungan ini dipertahankan memalui kemampuan bertahan
hidup demi system.
d. Latency : system sosial selalu
berusaha mempertahankan bentuk-bentuk interaksi yang relatif tetap dan setiap
perilaku menyimpang selalu di akomodasi melalui kesepakatan-kesepakatan yang
diperbaharui terus menerus.
B TEORI-TEORI STRUKTURAL
FUNGSIONAL
1. Teori fungsionalisme Parsons
Suatu keyakinan akan perubahan
dan kelangsungan sistem. Pada saat depresi kala itu, teorinya merupakan teori
sosial yang optimistis. Akan tetapi agaknya optimisme Parson itu dipengaruhi
oleh keberhasilan Amerika dalam Perang Dunia II dan kembalinya masa kemewahan
setelah depresi yang parah itu. Bagi mereka yang hidup dalam sistem yang
kelihatannya galau dan kemudian diikuti oleh pergantian dan perkembangan lebih
lanjut maka optimisme teori Parsons dianggap benar. Sebagaimana yang dinyatakan
oleh Gouldner (1970: 142): ”untuk melihat masyarakat sebagai sebuah firma, yang
dengan jelas memiliki batas-batas srukturalnya, seperti yang dilakukan oleh
teori baru Parsons, adalah tidak bertentangan dengan pengalaman kolektif,
dengan realitas personal kehidupan sehari-hari yang sama-sama kita miliki”.
2. Emile Durkheim
Masyarakat modern dilihat oleh
Durkheim sebagai keseluruhan organis yang memiliki realitas tersendiri.
Keseluruhan tersebut memiliki seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu
yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam
keadaan normal, tetap langgeng. Bila mana kebutuhan tertentu tadi tidak
dipenuhi maka akan berkembang suatu keadaan yang bersifat ”patologis”. Sebagai
contoh dalam masyarakat modern fungsi ekonomi merupakan kebutuhan yang harus
dipenuhi. Bilamana kehidupan ekonomi mengalami suatu fluktuasi yang keras, maka
bagian ini akan mempengaruhi bagian yang lain dari sistem itu dan akhirnya
sistem sebagai keseluruhan. Suatu depresi yang parah dapat menghancurkan sistem
politik, mengubah sistem keluarga dan menyebabkan perubahan dalam struktur
keagamaan. Pukulan yang demikian terhadap sistem dilihat sebagai suatu keadaan
patologis, yang pada akhirnya akan teratasi dengan sendirinya sehingga keadaan
normal kembali dapat dipertahankan. Para fungsionalis kontemporer menyebut
keadaan normal sebagai equilibrium, atau sebagai suatu sistem yang seimbang,
sedang keadaan patologis menunjuk pada ketidakseimbangan atau perubahan sosial.
3. Bronislaw Malinowski dan A.R.
Radcliffe-Brown
Malinowski dan Brown dipengaruhi
oleh ahli-ahli sosiologi yang melihat masyarakat sebagai organisme hidup, dan
keduanya menyumbangkan buah pikiran mereka tentang hakikat, analisa fungsional
yang dibangun di atas model organis. Di dalam batasannya tentang beberapa
konsep dasar fungsionalisme dalam ilmu-ilmu sosial, pemahaman Radcliffe-Brown
(1976:503-511) mengenai fungsionalisme struktural merupakan dasar bagi analisa
fungsional kontemporer : Fungsi dari setiap kegiatan yang selalu berulang,
seperti penghukuman kejahatan, atau upacara penguburan, adalah merupakan bagian
yang dimainkannya dalam kehidupan sosial sebagai keseluruhan dan, karena itu
merupakan sumbangan yang diberikannya bagi pemeliharaan kelangsungan struktural
(Radcliffe-Brown (1976:505).
4. Coser dan Rosenberg (1976:
490)
melihat bahwa kaum fungsionalisme
struktural berbeda satu sama lain di dalam mendefinisikan konsep-konsep
sosiologi mereka. Sekalipun demikian adalah mungkin untuk memperoleh suatu
batasan dari dua konsep kunci berdasarkan atas kebiasaan sosiologis standar.
Struktur menunjuk pada seperangkat unit-unit sosial yang relatif stabil dan
berpola”, atau ”suatu sistem dengan pola-pola yang relatif abadi”.Lembaga-lembaga
sosial seperti keluarga, agama, atau pemerintahan, termasuk struktur
kelembagaan partai politik adalah contoh dari struktur atau sistem sosial yang
masing-masing merupakan bagian yang saling bergantungan satu sama lain
(norma-norma mengatur status dan peranan) menurut beberapa pola tertentu.
Coser dan Rosenberg (1976: 490)
membatasi fungsi sebagai ”konsekuensi-konsekuensi dari setiap kegiatan sosial
yang tertuju pada adaptasi penyesuaian suatu struktur tertentu dari
bagian-bagian komponennya”. Dengan demikian fungsi menunjuk kepada proses
dinamis yang terjadi di dalam struktur itu. Hal ini melahirkan masalah tentang
bagaimana berbagai norma sosial yang mengatur status-status, ini memungkinkan
status-status tersebut saling berhubungan satu sama lain dan berhubungan dengan
sistem yang lebih luas.
5. Di tahun 1959 Kingsley Davis
Dalam pidato kepemimpinannya di
hadapan anggota ”American Sociological Association”, bahkan melangkah lebih
jauh dengan menyatakan bahwa fungsionalisme struktural sudah tidak dapat lagi
dipisahkan dari sosiologi itu sendiri. Tetapi dalam sepuluh tahun terakhir ini
teori fungsionalisme struktural itu semakin banyak mendapat serangan sehingga
memaksa para pendukungnya untuk mempertimbangkan kembali pernyataan mereka
tentang potensi teori tersebut sebagai teori pemersatu dalam sosiologi.
6.Robert K. Merton
Sebagai seorang yang mungkin
dianggap lebih dari ahli teori lainnya telah mengembangkan pernyataan mendasar
dan jelas teori-teori fungsionalisme, adalah seorang pendukung yang mengajukan
tuntutan lebih terbatas bagi perspektif ini. Mengakui bahwa pendekatan ini
telah membawa kemajuan bagi pengetahuan sosiologis, ia juga mengakui bahwa
fungsionalisme struktural mungkin tidak akan mampu mengatasi seluruh masalah
sosial (Merton, 1975: 25). Pada saat yang sama Merton tetap sebagai pelindung
setia dari analisa fungsional, yang dinyatakannya mampu melahirkan ”suatu
masalah yang saya anggap menarik dan cara berfikir yang saya anggap lebih
efektif dibanding dengan cara berfikir lain yang pernah saya temukan” (Merton,
1975: 30). Di dalam kata-kata Coser dan Rosenberg (1976: 492) model
fungsionalisme struktural Merton ini adalah merupakan ”pernyataan yang paling
canggih dari pendekatan fungsionalisme yang tersedia dewasa ini.”Model analisa
fungsional Merton merupakan hasil perkembangan pengetahuan yang menyeluruh dari
teori-teori klasik yang menggunakan penulis besar seperti Max Weber.
Pengaruh Weber dapat dilihat
dalam batasan Merton tentang birokrasi. Mengikuti Weber, Merton (1957: 195-196)
mengamati beberapa hal berikut di dalam organisasi birokrasi modern :
(1) birokrasi merupakan struktur
sosial yang terorganisir secara rasional dan formal;
(2) ia meliputi suatu pola
kegiatan yang memiliki batas-batas yang jelas;
(3) kegiatan-kegiatan tersebut
secara ideal berhubungan dengan tujuan-tujuan organisasi;
(4) jabatan-jabatan dalam
organisasi diintegrasikan ke dalam keseluruhan struktur birokratis; (5)
Status-status dalam birokrasi tersusun ke dalam susunan yang bersifat hirarkis;
(6) berbagai kewajiban serta
hak-hak di dalam birokrasi dibatasi oleh aturan-aturan yang terbatas serta
terperinci;
(7) otoritas pada jabatan, bukan
pada orang;
(8) hubungan-hubungan antara
orang-orang dibatasi secara formal. Organisasi-organisasi yang berskala besar,
termasuk universitas atau akademi, memberikan ilustrasi yang baik tentang model
birokrasi yang diuraikan oleh Weber dan Merton.
Paradigma analisa fungsional
Merton, mencoba membuat batasan-batasan beberapa konsep analitis dasar dari
bagi analisa fungsional dan menjelaskan beberapa ketidakpastian arti yang
terdapat di dalam postulat-postulat kaum fungsional. Merton mengutip tiga
postulat yang terdapat di dalam analisa fungsional yang kemudian
disempurnakannya satu demi satu.
Postulat pertama, adalah kesatuan
fungsional masyarakat yang dapat dibatasi sebagai ”suatu keadaan di mana
seluruh bagian dari sistem sosial bekerja sama dalam suatu tingkat keselarasan
atau konsistensi internal yang memadai, tanpa menghasilkan konflik yang
berkepanjangan yang tidak dapat diatasi atau diatur” (Merton, 1967: 80). Merton
menegaskan bahwa kesatuan fungsioanal yang sempurna dari suatu masyarakat
adalah ”bertentangan dengan fakta”. Sebagai contoh dia mengutip beberapa
kebiasaan masyarakat yang dapat bersifat fungsional bagi suatu kelompok
(menunjang integrasi dan kohesi suatu kelompok) akan tetapi disfungsional
(mempercepat kehancuran) bagi kelompok lain. Para sesepuh sosiologi melihat
agama, misalnya, sebagai suatu unsur penting (kalau tidak esensial) di dalam masyarakat.
Kita memiliki banyak contoh di mana agama mampu mempertinggi tingkat kohesi
suatu masyarakat, kita juga mempunyai banyak kasus di mana agama memiliki
konsekuensi disintegratif.
Paradigma Merton menegaskan bahwa
disfungsi (elemen disintegratif) tidak boleh diabaikan hanya karena orang
begitu terpesona oleh fungsi-fungsi positif (elemen integratif). Sebagai
contoh, beliau juga menegaskan bahwa apa yang fungsional bagi suatu kelompok
(masyarakat Katolik atau Protestan di kota Belfast, misalnya) dapat tidak
fungsional bagi keseluruhan bagi kota Belfast. Oleh karena itu batas-batas
kelompok yang dianalisa harus diperinci.
Postulat kedua, yaitu
fungsionalisme universal, terkait dengan postulat pertama. Fungsionalisme
universal menganggap bahwa ”seluruh bentuk sosial dan kebudayaan yang sudah
baku memiliki fungsi-fungsi positif” (Merton, 1967: 84), seperti apa yang telah
kita ketahui Merton memperkenalkan konsep disfungsi maupun fungsi positif.
Beberapa perilaku sosial jelas bersifat disfungsioanal. Merton menganjurkan
agar elemen-elemen kultural seharusnya dipertimbangkan menurut kriteria
keseimbangan konsekuensi fungsional (net balance of functional consequences),
yang menimbang fungsi positif relatif terhadap fungsi negatif. Sehubungan
dengan kasus agama yang dicontohkan tadi, seorang fungsionalis harus mencoba
mengkaji fungsi positif maupun negatifnya, dan kemudian menetapkan keseimbangan
di antara keduanya.
Postulat ketiga melengkapi trio
postulat fungsionalisme, adalah postulat indispensability. Ia menyatakan bahwa
”dalam setiap tipe peradaban, setiap kebiasaan, ide, obyek materil, dan
kepercayaan memenuhi beberapa fungsi penting, memiliki sejumlah tugas yang
harus dijalankan, dan merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan
dalam kegiatan sistem sebagai keseluruhan” (Merton, 1967: 86).
7.Teori struktural fungsional
sebagaimana Garna (1996: 54)
Mmengemukakan, Pertama, bahwa
fungsionalisme sebagai kaidah atau teori dapat menjelaskan gejala-gejala dan
institusi sosial dengan memfokuskan kepada fungsi yang dibentuk dan disusun
oleh gejala sosial dan institusi sosial tersebut. Dari sisi kaidah tersebut,
maka fungsional memperhatikan sistem dan pola komunikasi sebagai fakta sosial
(social facts). Kedua, struktur sosial merujuk pada pola hubungan dalam setiap
satuan sosial yang mapan dan sudah memiliki identitas sendiri; sedangkan fungsi
merujuk pada kegunaan atau manfaat dari tiap satuan sosial tadi.
8.Menurut Sendjaja (1994: 32)
Mengemukakan bahwa model
struktural fungsional mempunyai ciri sebagai berikut:
(1) sistem dipandang sebagai satu
kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang saling berkaitan;
(2) adanya spesifikasi lingkungan
yakni spesifikasi faktor-faktor eksternal yang bisa mempengaruhi sistem;
(3) adanya ciri-ciri, sifat-sifat
yang dipandang esensial untuk kelangsungan sistem;
(4) adanya spesifikasi jalan yang
menentukan perbedaan nilai; dan
(5) adanya aturan tentang
bagaimana bagian-bagian secara kolektif beroperasi sesuai ciri-cirinya untuk
menjaga eksistensi sistem.
9.Francesca Cancian
Memberikan sumbangan pemikiran
bahwa sistem sosial merupakan sebuah model dengan persamaan tertentu. Analogi
yang dikembangkan didasarkan pula oleh ilmu alam, sesuatu yang sama dengan para
pendahulunya. Model ini mempunyai beberapa variabel yang membentuk sebuah
fungsi. Penggunaan model sederhana ini tidak akan mampu memprediksi perubahan
atau keseimbangan yang akan terjadi, kecuali kita dapat mengetahui sebagaian
variabel pada masa depan. Dalam sebuah sistem yang deterministik, seperti yang
disampaikan oleh Nagel, keadaan dari sebuah sistem pada suatu waktu tertentu
merupakan fungsi dari keadaan tersebut beberapa waktu lampau.
10. Kingsley Davis dan Wilbert
Moore
Menurut mereka, dalam masyarakat
pasti ada stratifikasi atau kelas, stratifikasi sosial merupakan fenomena yang
penting dan bersifat universal. Stratifikasi adalah keharusan fungsional, semua
masyarakat memerlukan sistem seperti dan keperluan ini sehingga memerlukan
stratifikasi. Mereka memandang sistem stratifikasi sebagai sebuah struktur, dan
tidak mengacu pada stratifikasi individu pada system stratifikasi, melainkan
pada sistem posisi (kedudukan).
Pusat perhatiannya ialah
bagaimana agar posisi tertentu memiliki tingkat prestise berbeda dan bagaimana
agar individu mau mengisi posisi tersebut. Masalah fungsionalnya ialah
bagaimana cara masyarakat memotivasi dan menempatkan setiap individu pada
posisi yang tepat. Secara stratifikasi masalahnya ialah bagaimana meyakinkan
individu yang tepat pada posisi tertentu dan membuat individu tersebut memiliki
kualifikasi untuk memegang posisi tersebut.
Penempatan sosial dalam
masyarakat menjadi masalah karena tiga alasan mendasar,
- Posisi tertentu lebih
menyenangkan daripada posisi yang lain
- Posisi tertentu lebih penting
untuk menjaga keberlangsungan masyarakat daripada posisi
yang lain.
- Setiap posisi memiliki
kualifikasi dan bakat yang berbeda.
Posisi yang tinggi tingkatannya
dalam stratifikasi cenderung untuk tidak diminati tetapi penting untuk menjaga
keberlangsungan masyarakat, juga memerlukan bakat dan kemampan terbaik. Pada
keadaan ini masyarakat dianjurkan agar memberi reward kepada individu yang
menempati posisi tersebut agar dia menjalankan fungsinya secara optimal. Jika
ini tidak dilakukan maka masyarakat akan kekurangan individu untuk mengisi
posisi tesebut yang berakibat pada tercerai-berainya masyarakat.
Teori Konflik
A. ASUMSI DASAR
1) Masyarakat senantiasa berada
di dalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir. Proses perubahan
masyarakat adat sederhana menjadi modern.
2) Masyarakat mengandung konflik
di dalam dirinya (konflik antar individu, antar kelompok, individu dengan
kelompok).
3) Setiap unsur dalam masyarakat
memberikan sumbangan terjadinya disintegrasi / perubahan sosial (sosek :
perbedaan tingkat kemakmuran, status sosial, budaya : pruralisme etnis, agama,
politik : simbolisme ketidak adilan).
B. TEORI-TEORI KONFLIK
1. Teori Hubungan Masyarakat
Menganggap bahwa konflik
disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan
di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. Sasaran yang ingin
dicapai teori ini adalah:
• Meningkatkan komunikasi dan
saling pengertian antara kelompok-kelompok yang mengalami konflik.
• Mengusahakan toleransi dan agar
masyarakat lebih bisa saling menerima keragaman yang ada di dalamnya.
2. Teori Negosiasi Prinsip
Menganggap bahwa konflik
disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan
tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik. Sasaran yang ingin
dicapai teori ini adalah:
• Membantu pihak-pihak yang
mengalami konflik untuk memisahkan perasaan pribadi dengan berbagai masalah dan
isu, dan memampukan mereka untuk melakukan negosiasi berdasarkan
kepentingan-kepentingan mereka daripada posisi tertentu yang sudah tetap.
• Melancarkan proses pencapaian
kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak atau semua pihak.
3. Teori Kebutuhan Manusia
Berasumsi bahwa konflik yang
berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia – fisik, mental, dan
sosial – yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Keamanan, identitas, pengakuan,
partisipasi, dan otonomi sering merupakan inti pembicaraan. Sasaran yang ingin
dicapai teori ini adalah:
• Membantu pihak-pihak yang
mengalami konflik untuk mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka
yang tidak terpenuhi, dan menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan itu.
• Agar pihak-pihak yang mengalami
konflik mencapai kesepakatan untuk memenuhi kebutuhan dasar semua pihak.
4. Teori Identitas
Berasumsi bahwa konflik disebabkan
karena identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau
penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan. Sasaran yang ingin dicapai
teori ini adalah:
• Melalui fasilitas lokakarya dan
dialog antara pihak-pihak yang mengalami konflik mereka diharapkan dapat
mengidentifikasi ancaman-ancaman dan ketakutan yang mereka rasakan
masing-masing dan untuk membangun empati dan rekonsiliasi di antara mereka.
• Meraih kesepakatan bersama yang
mengakui kebutuhan identitas pokok semua pihak.
5. Teori Kesalahpahaman
Antarbudaya
Berasumsi bahwa konflik
disebabkan oleh ketidak cocokan dalam cara-cara komunikasi di antara berbagai
budaya yang berbeda. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah:
• Menambah pengetahuan
pihak-pihak yang mengalami konflik mengenai budaya pihak lain.
• Mengurangi stereotip negatif
yang mereka miliki tentang pihak lain.
• Meningkatkan keefektifan
komunikasi antarbudaya.
6. Teori Transformasi Konflik
Berasumsi bahwa konflik
disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul
sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi. Sasaran yang ingin dicapai
teori ini adalah:
• Mengubah berbagai struktur dan
kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan, termasuk
kesenjangan ekonomi.
• Meningkatkan jalinan hubungan
dan sikap jangka panjang di antara pihak-pihak yang mengalami konflik.
• Mengembangkan berbagai proses
dan sistem untuk mempromosikan pemberdayaan, keadilan , perdamaian, pengampunan
, rekonsiliasi dan pengakuan.
7. Teori Konflik Karl Marx (1818-
1883)
Teori konflik Karl Marx didasarkan pada pemilikan sarana-
sarana produksi sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam masyarakat.
Marx mengajukan konsepsi mendasar
tentang masyarakat kelas dan perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan kelas
secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad
ke- 19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis)
dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar. Kedua kelas ini berada dalam suatu
struktur sosial hirarkis, kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum
proletar dalam proses produksi..
Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu eksis (false
consiousness) dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima
keadaan apa adanya tetap terjaga.
Ketegangan hubungan antara kaum
proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu
revolusi. Ketegangan tersebut terjadi jika kaum proletar telah sadar akan
eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka.
8. Teori Konflik Georg Simmel
Simmel memandang pertikaian
sebagai gejala yang tidak mungkin dihindari dalam masyarakat. Struktur sosial
dilihatnya sebagai gejala yang mencakup pelbagai proses asosiatif dan
disosiatif yang tidak mungkin terpisah- pisahkan, namun dapat dibedakan dalam
analisa.
Menurut Simmel konflik tunduk
pada perubahan. Coser mengembangkan proposisi dan memperluas konsep Simmel
tersebut dalam menggambarkan kondisi- kondisi di mana konflik secara positif
membantu struktur sosial dan bila terjadi secara negatif akan memperlemah
kerangka masyarakat.
9. Teori Konflik Menurut Ralf
Dahrendorf
teori konflik Ralf Dahrendorf
merupakan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta modifikasi teori
sosiologi Karl Marx. Karl Marx berpendapat bahwa pemilikan dan Kontrol sarana-
sarana berada dalam satu individu- individu yang sama.
Menurut Dahrendorf tidak selalu
pemilik sarana- sarana juga bertugas sebagai pengontrol apalagi pada abad
kesembilan belas. Bentuk penolakan tersebut ia tunjukkan dengan memaparkan
perubahan yang terjadi di masyarakat industri semenjak abad kesembilan belas.
Diantaranya:
• Dekomposisi modal
Menurut Dahrendorf timbulnya
korporasi- korporasi dengan saham yang dimiliki oleh orang banyak, dimana tak
seorangpun memiliki kontrol penuh merupakan contoh dari dekomposisi modal.
• Dekomposisi Tenaga kerja
Di abad spesialisasi sekarang ini
mungkin sekali seorang atau beberapa orang mengendalikan perusahaan yang bukan
miliknya, seperti halnya seseorang atau beberapa orang yang mempunyai
perusahaan tapi tidak mengendalikanya. Karena zaman ini adalah zaman keahlian
dan spesialisasi, manajemen perusahaan dapat menyewa pegawai- pegawai untuk
memimpin perusahaanya agar berkembang dengan baik.
• Timbulnya kelas menengah baru
Pada akhir abad kesembilan belas,
lahir kelas pekerja dengan susunan yang jelas, di mana para buruh terampil
berada di jenjang atas sedang buruh biasa berada di bawah.
Penerimaan Dahrendorf pada teori
konflik Karl Marx adalah ide mengenai pertentangan kelas sebagai satu bentuk
konflik dan sebagai sumber perubahan sosial. Kemudian dimodifikasi oleh
berdasarkan perkembangan yang terjadi akhir- akhir ini. Dahrendorf mengatakan
bahwa ada dasar baru bagi pembentukan kelas, sebagai pengganti konsepsi
pemilikan sarana produksi sebagai dasar perbedaan kelas itu. Menurut Dahrendorf
hubungan- hubungan kekuasaan yang menyangkut bawahan dan atasan menyediakan
unsur bagi kelahiran kelas.
Dahrendorf mengakui terdapat
perbedaan di antara mereka yang memiliki sedikit dan banyak kekuasaan.
Perbedaan dominasi itu dapat terjadi secara drastis. Tetapi pada dasarnya tetap
terdapat dua kelas sosial yaitu, mereka yang berkuasa dan yang dikuasai. Dalam
analisanya Dahrendorf menganggap bahwa secara empiris, pertentangan kelompok
mungkin paling mudah di analisa bila dilihat sebagai pertentangan mengenai
ligitimasi hubungan- hubungan kekuasaan. Dalam setiap asosiasi, kepentingan
kelompok penguasa merupakan nilai- nilai yang merupakan ideologi keabsahan
kekuasannya, sementara kepentingan- kepentingan kelompok bawah melahirkan
ancaman bagi ideologi ini serta hubungan- hubungan sosial yang terkandung di
dalamnya.
Contoh: Kasus kelompok minoritas
yang pada tahun 1960-an kesadarannya telah memuncak, antara lain termasuk
kelompok- kelompok kulit hitam, wanita, suku Indian dan Chicanos. Kelompok
wanita sebelum tahun 1960-an merupakan kelompok semu yang ditolak oleh kekuasan
di sebagian besar struktur sosial di mana mereka berpartisipasi. Pada
pertengahan tahun 1960-an muncul kesadaran kaum wanita untuk menyamakan
derajatnya dengan kaum laki- laki.
10. Teori konflik aliran Marx
Beranggapan asas kepada
pembentukan sesebuah masyarakat adalah disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi
seperti tanah, modal, industri dan perdagangan. Asas kepada perubahan sesebuah
struktur masyarakat adalah disebabkan faktor-faktor berkaitan dengan
pengeluaran ekonomi. Faktor lain seperti agama, institusi politik, kekeluargaan
dan pendidikan pula menjadi superstruktur masyarakat. Sebarang perubahan yang
berlaku pada superstruktur masyarakat hanya akan berlaku jika terdapat
perubahan pada asasnya.
11. Teori Konflik aliran Weber.
Weber menghujahkan bahawa
perubahan sosial masyarakat bukanlah hanya disebabkan oleh faktor konflik kelas
sosial yang berpunca daripada faktor ekonomi semata-mata tetapi turut berpunca
daripada pelbagai factor.
12. Teori Konflik Menurut Lewis
A. Coser.
Konflik dapat merupakan proses
yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan
struktur sosial. Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua
atau lebih kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali
identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial
sekelilingnya.
Seluruh fungsi positif konflik
tersebut dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok yang sedang mengalami
konflik dengan kelompok lain. Misalnya, pengesahan pemisahan gereja kaum
tradisional (yang memepertahankan praktek- praktek ajaran katolik pra- Konsili
Vatican II) dan gereja Anglo- Katolik (yang berpisah dengan gereja Episcopal
mengenai masalah pentahbisan wanita). Perang yang terjadi bertahun- tahun yang
terjadi di Timur Tengah telah memperkuat identitas kelompok Negara Arab dan
Israel.
Coser melihat katup penyelamat
berfungsi sebagai jalan ke luar yang meredakan permusuhan, yang tanpa itu
hubungan- hubungan di antara pihak-pihak yang bertentangan akan semakin
menajam. Katup Penyelamat (savety-value) ialah salah satu mekanisme khusus yang
dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial.
Katup penyelamat merupakan sebuah institusi pengungkapan rasa tidak puas atas
sebuah sistem atau struktur.
Contoh: Badan Perwakilan
Mahasiswa atau panitia kesejahteraan Dosen. Lembaga tersebut membuat kegerahan
yang berasal dari situasi konflik tersalur tanpa menghancurkan sistem tersebut.
Menurut Coser konflik dibagi
menjadi dua, yaitu:
1. Konflik Realistis, berasal
dari kekecewaan terhadap tuntutan- tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan
dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan
pada obyek yang dianggap mengecewakan. Contohnya para karyawan yang mogok kerja
agar tuntutan mereka berupa kenaikan upah atau gaji dinaikkan.
2. Konflik Non- Realistis,
konflik yang bukan berasal dari tujuan- tujuan saingan yang antagonis, tetapi
dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak.
Coser menjelaskan dalam masyarakat yang buta huruf pembasan dendam biasanya
melalui ilmu gaib seperti teluh, santet dan lain- lain. Sebagaimana halnya
masyarakat maju melakukan pengkambinghitaman sebagai pengganti ketidakmampuan
melawan kelompok yang seharusnya menjadi lawan mereka.
Menurut Coser terdapat suatu
kemungkinan seseorang terlibat dalam konflik realistis tanpa sikap permusuhan
atau agresi.
Contoh: Dua pengacara yang selama
masih menjadi mahasiswa berteman erat. Kemudian setelah lulus dan menjadi
pengacara dihadapkan pada suatu masalah yang menuntut mereka untuk saling
berhadapan di meja hijau. Masing- masing secara agresif dan teliti melindungi
kepentingan kliennya, tetapi setelah meniggalkan persidangan mereka melupakan
perbedaan dan pergi ke restoran untuk membicarakan masa lalu.
Akan tetapi apabila konflik
berkembang dalam hubungan- hubungan yang intim, maka pemisahan (antara konflik
realistis dan non-realistis) akan lebih sulit untuk dipertahankan.
Coser menyatakan bahwa, semakin
dekat suatu hubungan semakin besar rasa kasih saying yang sudah tertanam,
sehingga semakin besar juga kecenderungan untuk menekan ketimbang mengungkapkan
rasa permusuhan. Sedang pada hubungan- hubungan sekunder, seperti misalnya
dengan rekan bisnis, rasa permusuhan dapat relatif bebas diungkapkan. Hal ini
tidak selalu bisa terjadi dalam hubungan- hubungan primer dimana keterlibatan
total para partisipan membuat pengungkapan perasaan yang demikian merupakan
bahaya bagi hubungan tersebut. Apabila konflik tersebut benar- benar melampaui
batas sehingga menyebabkan ledakan yang membahayakan hubungan tersebut.
Contoh: Seperti konflik antara
suami dan istri, serta konflik sepasang kekasih.
Coser. Mengutip hasil pengamatan
Simmel yang meredakan ketegangan yang terjadi dalam suatu kelompok. Dia menjelaskan
bukti yang berasal dari hasil pengamatan terhadap masyarakat Yahudi bahwa
peningkatan konflik kelompok dapat dihubungkan dengan peningkatan interaksi
dengan masyarakat secara keseluruhan. Bila konflik dalam kelompok tidak ada,
berarti menunjukkan lemahnya integrasi kelompok tersebut dengan masyarakat.
Dalam struktur besar atau kecil konflik in-group merupakan indikator adanya
suatu hubungan yang sehat. Coser sangat menentang para ahli sosiologi yang
selalu melihat konflik hanya dalam pandangan negatif saja. Perbedaan merupakan
peristiwa normal yang sebenarnya dapat memperkuat struktur sosial. Dengan
demikian Coser menolak pandangan bahwa ketiadaan konflik sebagai indikator dari
kekuatan dan kestabilan suatu hubungan.
i'm so thankful with this post..
BalasHapusagar lebih membantu, sertakan juga daftar pustakanya. thank you :-)
BalasHapus