Rabu, 09 Mei 2012

Teori Struktural Fungsional


ASUMSI DASAR
Teori fungsionalisme struktural adalah suatu bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan fungsional yaitu August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer. Pemikiran structural fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap masyarakat sebagai organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan tersebut merupakan hasil atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup. Sama halnya dengan pendekatan lainnya pendekatan structural fungsional ini juga bertujuan untuk mencapai keteraturan sosial.
Teori struktural fungsional ini awalnya berangkat dari pemikiran Emile Durkheim, dimana pemikiran Durkheim ini dipengaruhi oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer. Comte dengan pemikirannya mengenai analogi organismik kemudian dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer dengan membandingkan dan mencari kesamaan antara masyarakat dengan organisme, hingga akhirnya berkembang menjadi apa yang disebut dengan requisite functionalism, dimana ini menjadi panduan bagi analisa substantif Spencer dan penggerak analisa fungsional. Dipengaruhi oleh kedua orang ini, studi Durkheim tertanam kuat terminology organismik tersebut. Durkheim mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan dimana didalamnya terdapat bagian – bagian yang dibedakan.
Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai fungsi masing – masing yang membuat sistem menjadi seimbang. Bagian tersebut saling interdependensi satu sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak berfungsi maka akan merusak keseimbangan sistem. Pemikiran inilah yang menjadi sumbangsih Durkheim dalam teori Parsons dan Merton mengenai struktural fungsional. Selain itu, antropologis fungsional-Malinowski dan Radcliffe Brown juga membantu membentuk berbagai perspektif fungsional modern.Selain dari Durkheim, teori struktural fungsional ini juga dipengaruhi oleh pemikiran Max Weber. Secara umum, dua aspek dari studi Weber yang mempunyai pengaruh kuat adalah :
Visi substantif mengenai tindakan sosial.
Strateginya dalam menganalisa struktur sosial.
Pemikiran Weber mengenai tindakan sosial ini berguna dalam perkembangan pemikiran Parsons dalam menjelaskan mengenai tindakan aktor dalam menginterpretasikan keadaan.
Adapula asumsi dasar menurut Talcott Parsons. Menurut Parson, ada empat komponen penting dalam teori struktural fungsional, yaitu : Adaptation, Goal Atainment, Integration, dan Latency (AGIL).
a. Adaptation : sistem sosial (masyarakat) selalu berubah untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi, baik secara internal ataupun eksternal.
b. Goal Attainment : setiap sistem sosial (masyarakat) selalu ditemui tujuan-tujuan bersama yang ingin dicapai oleh system sosial tersebut.
c. Integration : setiap system sosial selalu terintegrasi dan cendeung bertahan pada equilibrium (keseimbangan). Kecenderungan ini dipertahankan memalui kemampuan bertahan hidup demi system.
d. Latency : system sosial selalu berusaha mempertahankan bentuk-bentuk interaksi yang relatif tetap dan setiap perilaku menyimpang selalu di akomodasi melalui kesepakatan-kesepakatan yang diperbaharui terus menerus.
B TEORI-TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL
1. Teori fungsionalisme Parsons
Suatu keyakinan akan perubahan dan kelangsungan sistem. Pada saat depresi kala itu, teorinya merupakan teori sosial yang optimistis. Akan tetapi agaknya optimisme Parson itu dipengaruhi oleh keberhasilan Amerika dalam Perang Dunia II dan kembalinya masa kemewahan setelah depresi yang parah itu. Bagi mereka yang hidup dalam sistem yang kelihatannya galau dan kemudian diikuti oleh pergantian dan perkembangan lebih lanjut maka optimisme teori Parsons dianggap benar. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Gouldner (1970: 142): ”untuk melihat masyarakat sebagai sebuah firma, yang dengan jelas memiliki batas-batas srukturalnya, seperti yang dilakukan oleh teori baru Parsons, adalah tidak bertentangan dengan pengalaman kolektif, dengan realitas personal kehidupan sehari-hari yang sama-sama kita miliki”.
2. Emile Durkheim
Masyarakat modern dilihat oleh Durkheim sebagai keseluruhan organis yang memiliki realitas tersendiri. Keseluruhan tersebut memiliki seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam keadaan normal, tetap langgeng. Bila mana kebutuhan tertentu tadi tidak dipenuhi maka akan berkembang suatu keadaan yang bersifat ”patologis”. Sebagai contoh dalam masyarakat modern fungsi ekonomi merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Bilamana kehidupan ekonomi mengalami suatu fluktuasi yang keras, maka bagian ini akan mempengaruhi bagian yang lain dari sistem itu dan akhirnya sistem sebagai keseluruhan. Suatu depresi yang parah dapat menghancurkan sistem politik, mengubah sistem keluarga dan menyebabkan perubahan dalam struktur keagamaan. Pukulan yang demikian terhadap sistem dilihat sebagai suatu keadaan patologis, yang pada akhirnya akan teratasi dengan sendirinya sehingga keadaan normal kembali dapat dipertahankan. Para fungsionalis kontemporer menyebut keadaan normal sebagai equilibrium, atau sebagai suatu sistem yang seimbang, sedang keadaan patologis menunjuk pada ketidakseimbangan atau perubahan sosial.
3. Bronislaw Malinowski dan A.R. Radcliffe-Brown
Malinowski dan Brown dipengaruhi oleh ahli-ahli sosiologi yang melihat masyarakat sebagai organisme hidup, dan keduanya menyumbangkan buah pikiran mereka tentang hakikat, analisa fungsional yang dibangun di atas model organis. Di dalam batasannya tentang beberapa konsep dasar fungsionalisme dalam ilmu-ilmu sosial, pemahaman Radcliffe-Brown (1976:503-511) mengenai fungsionalisme struktural merupakan dasar bagi analisa fungsional kontemporer : Fungsi dari setiap kegiatan yang selalu berulang, seperti penghukuman kejahatan, atau upacara penguburan, adalah merupakan bagian yang dimainkannya dalam kehidupan sosial sebagai keseluruhan dan, karena itu merupakan sumbangan yang diberikannya bagi pemeliharaan kelangsungan struktural (Radcliffe-Brown (1976:505).
4. Coser dan Rosenberg (1976: 490)
melihat bahwa kaum fungsionalisme struktural berbeda satu sama lain di dalam mendefinisikan konsep-konsep sosiologi mereka. Sekalipun demikian adalah mungkin untuk memperoleh suatu batasan dari dua konsep kunci berdasarkan atas kebiasaan sosiologis standar. Struktur menunjuk pada seperangkat unit-unit sosial yang relatif stabil dan berpola”, atau ”suatu sistem dengan pola-pola yang relatif abadi”.Lembaga-lembaga sosial seperti keluarga, agama, atau pemerintahan, termasuk struktur kelembagaan partai politik adalah contoh dari struktur atau sistem sosial yang masing-masing merupakan bagian yang saling bergantungan satu sama lain (norma-norma mengatur status dan peranan) menurut beberapa pola tertentu.
Coser dan Rosenberg (1976: 490) membatasi fungsi sebagai ”konsekuensi-konsekuensi dari setiap kegiatan sosial yang tertuju pada adaptasi penyesuaian suatu struktur tertentu dari bagian-bagian komponennya”. Dengan demikian fungsi menunjuk kepada proses dinamis yang terjadi di dalam struktur itu. Hal ini melahirkan masalah tentang bagaimana berbagai norma sosial yang mengatur status-status, ini memungkinkan status-status tersebut saling berhubungan satu sama lain dan berhubungan dengan sistem yang lebih luas.
5. Di tahun 1959 Kingsley Davis
Dalam pidato kepemimpinannya di hadapan anggota ”American Sociological Association”, bahkan melangkah lebih jauh dengan menyatakan bahwa fungsionalisme struktural sudah tidak dapat lagi dipisahkan dari sosiologi itu sendiri. Tetapi dalam sepuluh tahun terakhir ini teori fungsionalisme struktural itu semakin banyak mendapat serangan sehingga memaksa para pendukungnya untuk mempertimbangkan kembali pernyataan mereka tentang potensi teori tersebut sebagai teori pemersatu dalam sosiologi.
6.Robert K. Merton
Sebagai seorang yang mungkin dianggap lebih dari ahli teori lainnya telah mengembangkan pernyataan mendasar dan jelas teori-teori fungsionalisme, adalah seorang pendukung yang mengajukan tuntutan lebih terbatas bagi perspektif ini. Mengakui bahwa pendekatan ini telah membawa kemajuan bagi pengetahuan sosiologis, ia juga mengakui bahwa fungsionalisme struktural mungkin tidak akan mampu mengatasi seluruh masalah sosial (Merton, 1975: 25). Pada saat yang sama Merton tetap sebagai pelindung setia dari analisa fungsional, yang dinyatakannya mampu melahirkan ”suatu masalah yang saya anggap menarik dan cara berfikir yang saya anggap lebih efektif dibanding dengan cara berfikir lain yang pernah saya temukan” (Merton, 1975: 30). Di dalam kata-kata Coser dan Rosenberg (1976: 492) model fungsionalisme struktural Merton ini adalah merupakan ”pernyataan yang paling canggih dari pendekatan fungsionalisme yang tersedia dewasa ini.”Model analisa fungsional Merton merupakan hasil perkembangan pengetahuan yang menyeluruh dari teori-teori klasik yang menggunakan penulis besar seperti Max Weber.
Pengaruh Weber dapat dilihat dalam batasan Merton tentang birokrasi. Mengikuti Weber, Merton (1957: 195-196) mengamati beberapa hal berikut di dalam organisasi birokrasi modern :
(1) birokrasi merupakan struktur sosial yang terorganisir secara rasional dan formal;
(2) ia meliputi suatu pola kegiatan yang memiliki batas-batas yang jelas;
(3) kegiatan-kegiatan tersebut secara ideal berhubungan dengan tujuan-tujuan organisasi;
(4) jabatan-jabatan dalam organisasi diintegrasikan ke dalam keseluruhan struktur birokratis; (5) Status-status dalam birokrasi tersusun ke dalam susunan yang bersifat hirarkis;
(6) berbagai kewajiban serta hak-hak di dalam birokrasi dibatasi oleh aturan-aturan yang terbatas serta terperinci;
(7) otoritas pada jabatan, bukan pada orang;
(8) hubungan-hubungan antara orang-orang dibatasi secara formal. Organisasi-organisasi yang berskala besar, termasuk universitas atau akademi, memberikan ilustrasi yang baik tentang model birokrasi yang diuraikan oleh Weber dan Merton.
Paradigma analisa fungsional Merton, mencoba membuat batasan-batasan beberapa konsep analitis dasar dari bagi analisa fungsional dan menjelaskan beberapa ketidakpastian arti yang terdapat di dalam postulat-postulat kaum fungsional. Merton mengutip tiga postulat yang terdapat di dalam analisa fungsional yang kemudian disempurnakannya satu demi satu.
Postulat pertama, adalah kesatuan fungsional masyarakat yang dapat dibatasi sebagai ”suatu keadaan di mana seluruh bagian dari sistem sosial bekerja sama dalam suatu tingkat keselarasan atau konsistensi internal yang memadai, tanpa menghasilkan konflik yang berkepanjangan yang tidak dapat diatasi atau diatur” (Merton, 1967: 80). Merton menegaskan bahwa kesatuan fungsioanal yang sempurna dari suatu masyarakat adalah ”bertentangan dengan fakta”. Sebagai contoh dia mengutip beberapa kebiasaan masyarakat yang dapat bersifat fungsional bagi suatu kelompok (menunjang integrasi dan kohesi suatu kelompok) akan tetapi disfungsional (mempercepat kehancuran) bagi kelompok lain. Para sesepuh sosiologi melihat agama, misalnya, sebagai suatu unsur penting (kalau tidak esensial) di dalam masyarakat. Kita memiliki banyak contoh di mana agama mampu mempertinggi tingkat kohesi suatu masyarakat, kita juga mempunyai banyak kasus di mana agama memiliki konsekuensi disintegratif.
Paradigma Merton menegaskan bahwa disfungsi (elemen disintegratif) tidak boleh diabaikan hanya karena orang begitu terpesona oleh fungsi-fungsi positif (elemen integratif). Sebagai contoh, beliau juga menegaskan bahwa apa yang fungsional bagi suatu kelompok (masyarakat Katolik atau Protestan di kota Belfast, misalnya) dapat tidak fungsional bagi keseluruhan bagi kota Belfast. Oleh karena itu batas-batas kelompok yang dianalisa harus diperinci.
Postulat kedua, yaitu fungsionalisme universal, terkait dengan postulat pertama. Fungsionalisme universal menganggap bahwa ”seluruh bentuk sosial dan kebudayaan yang sudah baku memiliki fungsi-fungsi positif” (Merton, 1967: 84), seperti apa yang telah kita ketahui Merton memperkenalkan konsep disfungsi maupun fungsi positif. Beberapa perilaku sosial jelas bersifat disfungsioanal. Merton menganjurkan agar elemen-elemen kultural seharusnya dipertimbangkan menurut kriteria keseimbangan konsekuensi fungsional (net balance of functional consequences), yang menimbang fungsi positif relatif terhadap fungsi negatif. Sehubungan dengan kasus agama yang dicontohkan tadi, seorang fungsionalis harus mencoba mengkaji fungsi positif maupun negatifnya, dan kemudian menetapkan keseimbangan di antara keduanya.
Postulat ketiga melengkapi trio postulat fungsionalisme, adalah postulat indispensability. Ia menyatakan bahwa ”dalam setiap tipe peradaban, setiap kebiasaan, ide, obyek materil, dan kepercayaan memenuhi beberapa fungsi penting, memiliki sejumlah tugas yang harus dijalankan, dan merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan sistem sebagai keseluruhan” (Merton, 1967: 86).
7.Teori struktural fungsional sebagaimana Garna (1996: 54)
Mmengemukakan, Pertama, bahwa fungsionalisme sebagai kaidah atau teori dapat menjelaskan gejala-gejala dan institusi sosial dengan memfokuskan kepada fungsi yang dibentuk dan disusun oleh gejala sosial dan institusi sosial tersebut. Dari sisi kaidah tersebut, maka fungsional memperhatikan sistem dan pola komunikasi sebagai fakta sosial (social facts). Kedua, struktur sosial merujuk pada pola hubungan dalam setiap satuan sosial yang mapan dan sudah memiliki identitas sendiri; sedangkan fungsi merujuk pada kegunaan atau manfaat dari tiap satuan sosial tadi.
8.Menurut Sendjaja (1994: 32)
Mengemukakan bahwa model struktural fungsional mempunyai ciri sebagai berikut:
(1) sistem dipandang sebagai satu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang saling berkaitan;
(2) adanya spesifikasi lingkungan yakni spesifikasi faktor-faktor eksternal yang bisa mempengaruhi sistem;
(3) adanya ciri-ciri, sifat-sifat yang dipandang esensial untuk kelangsungan sistem;
(4) adanya spesifikasi jalan yang menentukan perbedaan nilai; dan
(5) adanya aturan tentang bagaimana bagian-bagian secara kolektif beroperasi sesuai ciri-cirinya untuk menjaga eksistensi sistem.
9.Francesca Cancian
Memberikan sumbangan pemikiran bahwa sistem sosial merupakan sebuah model dengan persamaan tertentu. Analogi yang dikembangkan didasarkan pula oleh ilmu alam, sesuatu yang sama dengan para pendahulunya. Model ini mempunyai beberapa variabel yang membentuk sebuah fungsi. Penggunaan model sederhana ini tidak akan mampu memprediksi perubahan atau keseimbangan yang akan terjadi, kecuali kita dapat mengetahui sebagaian variabel pada masa depan. Dalam sebuah sistem yang deterministik, seperti yang disampaikan oleh Nagel, keadaan dari sebuah sistem pada suatu waktu tertentu merupakan fungsi dari keadaan tersebut beberapa waktu lampau.
10. Kingsley Davis dan Wilbert Moore
Menurut mereka, dalam masyarakat pasti ada stratifikasi atau kelas, stratifikasi sosial merupakan fenomena yang penting dan bersifat universal. Stratifikasi adalah keharusan fungsional, semua masyarakat memerlukan sistem seperti dan keperluan ini sehingga memerlukan stratifikasi. Mereka memandang sistem stratifikasi sebagai sebuah struktur, dan tidak mengacu pada stratifikasi individu pada system stratifikasi, melainkan pada sistem posisi (kedudukan).
Pusat perhatiannya ialah bagaimana agar posisi tertentu memiliki tingkat prestise berbeda dan bagaimana agar individu mau mengisi posisi tersebut. Masalah fungsionalnya ialah bagaimana cara masyarakat memotivasi dan menempatkan setiap individu pada posisi yang tepat. Secara stratifikasi masalahnya ialah bagaimana meyakinkan individu yang tepat pada posisi tertentu dan membuat individu tersebut memiliki kualifikasi untuk memegang posisi tersebut.
Penempatan sosial dalam masyarakat menjadi masalah karena tiga alasan mendasar,
- Posisi tertentu lebih menyenangkan daripada posisi yang lain
- Posisi tertentu lebih penting untuk menjaga keberlangsungan masyarakat daripada posisi
yang lain.
- Setiap posisi memiliki kualifikasi dan bakat yang berbeda.
Posisi yang tinggi tingkatannya dalam stratifikasi cenderung untuk tidak diminati tetapi penting untuk menjaga keberlangsungan masyarakat, juga memerlukan bakat dan kemampan terbaik. Pada keadaan ini masyarakat dianjurkan agar memberi reward kepada individu yang menempati posisi tersebut agar dia menjalankan fungsinya secara optimal. Jika ini tidak dilakukan maka masyarakat akan kekurangan individu untuk mengisi posisi tesebut yang berakibat pada tercerai-berainya masyarakat.
Teori Konflik
A. ASUMSI DASAR
1) Masyarakat senantiasa berada di dalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir. Proses perubahan masyarakat adat sederhana menjadi modern.
2) Masyarakat mengandung konflik di dalam dirinya (konflik antar individu, antar kelompok, individu dengan kelompok).
3) Setiap unsur dalam masyarakat memberikan sumbangan terjadinya disintegrasi / perubahan sosial (sosek : perbedaan tingkat kemakmuran, status sosial, budaya : pruralisme etnis, agama, politik : simbolisme ketidak adilan).
B. TEORI-TEORI KONFLIK
1. Teori Hubungan Masyarakat
Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah:
• Meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antara kelompok-kelompok yang mengalami konflik.
• Mengusahakan toleransi dan agar masyarakat lebih bisa saling menerima keragaman yang ada di dalamnya.
2. Teori Negosiasi Prinsip
Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah:
• Membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk memisahkan perasaan pribadi dengan berbagai masalah dan isu, dan memampukan mereka untuk melakukan negosiasi berdasarkan kepentingan-kepentingan mereka daripada posisi tertentu yang sudah tetap.
• Melancarkan proses pencapaian kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak atau semua pihak.
3. Teori Kebutuhan Manusia
Berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia – fisik, mental, dan sosial – yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi, dan otonomi sering merupakan inti pembicaraan. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah:
• Membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi, dan menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu.
• Agar pihak-pihak yang mengalami konflik mencapai kesepakatan untuk memenuhi kebutuhan dasar semua pihak.
4. Teori Identitas
Berasumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah:
• Melalui fasilitas lokakarya dan dialog antara pihak-pihak yang mengalami konflik mereka diharapkan dapat mengidentifikasi ancaman-ancaman dan ketakutan yang mereka rasakan masing-masing dan untuk membangun empati dan rekonsiliasi di antara mereka.
• Meraih kesepakatan bersama yang mengakui kebutuhan identitas pokok semua pihak.
5. Teori Kesalahpahaman Antarbudaya
Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidak cocokan dalam cara-cara komunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah:
• Menambah pengetahuan pihak-pihak yang mengalami konflik mengenai budaya pihak lain.
• Mengurangi stereotip negatif yang mereka miliki tentang pihak lain.
• Meningkatkan keefektifan komunikasi antarbudaya.
6. Teori Transformasi Konflik
Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah:
• Mengubah berbagai struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan, termasuk kesenjangan ekonomi.
• Meningkatkan jalinan hubungan dan sikap jangka panjang di antara pihak-pihak yang mengalami konflik.
• Mengembangkan berbagai proses dan sistem untuk mempromosikan pemberdayaan, keadilan , perdamaian, pengampunan , rekonsiliasi dan pengakuan.
7. Teori Konflik Karl Marx (1818- 1883)
Teori konflik  Karl Marx didasarkan pada pemilikan sarana- sarana produksi sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam masyarakat.
Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke- 19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar. Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkis, kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi..  Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu eksis (false consiousness) dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa adanya tetap terjaga.
Ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan tersebut terjadi jika kaum proletar telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka.
8. Teori Konflik Georg Simmel
Simmel memandang pertikaian sebagai gejala yang tidak mungkin dihindari dalam masyarakat. Struktur sosial dilihatnya sebagai gejala yang mencakup pelbagai proses asosiatif dan disosiatif yang tidak mungkin terpisah- pisahkan, namun dapat dibedakan dalam analisa.
Menurut Simmel konflik tunduk pada perubahan. Coser mengembangkan proposisi dan memperluas konsep Simmel tersebut dalam menggambarkan kondisi- kondisi di mana konflik secara positif membantu struktur sosial dan bila terjadi secara negatif akan memperlemah kerangka masyarakat.
9. Teori Konflik Menurut Ralf Dahrendorf
teori konflik Ralf Dahrendorf merupakan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta modifikasi teori sosiologi Karl Marx. Karl Marx berpendapat bahwa pemilikan dan Kontrol sarana- sarana berada dalam satu individu- individu yang sama.
Menurut Dahrendorf tidak selalu pemilik sarana- sarana juga bertugas sebagai pengontrol apalagi pada abad kesembilan belas. Bentuk penolakan tersebut ia tunjukkan dengan memaparkan perubahan yang terjadi di masyarakat industri semenjak abad kesembilan belas. Diantaranya:
• Dekomposisi modal
Menurut Dahrendorf timbulnya korporasi- korporasi dengan saham yang dimiliki oleh orang banyak, dimana tak seorangpun memiliki kontrol penuh merupakan contoh dari dekomposisi modal.
• Dekomposisi Tenaga kerja
Di abad spesialisasi sekarang ini mungkin sekali seorang atau beberapa orang mengendalikan perusahaan yang bukan miliknya, seperti halnya seseorang atau beberapa orang yang mempunyai perusahaan tapi tidak mengendalikanya. Karena zaman ini adalah zaman keahlian dan spesialisasi, manajemen perusahaan dapat menyewa pegawai- pegawai untuk memimpin perusahaanya agar berkembang dengan baik.
• Timbulnya kelas menengah baru
Pada akhir abad kesembilan belas, lahir kelas pekerja dengan susunan yang jelas, di mana para buruh terampil berada di jenjang atas sedang buruh biasa berada di bawah.
Penerimaan Dahrendorf pada teori konflik Karl Marx adalah ide mengenai pertentangan kelas sebagai satu bentuk konflik dan sebagai sumber perubahan sosial. Kemudian dimodifikasi oleh berdasarkan perkembangan yang terjadi akhir- akhir ini. Dahrendorf mengatakan bahwa ada dasar baru bagi pembentukan kelas, sebagai pengganti konsepsi pemilikan sarana produksi sebagai dasar perbedaan kelas itu. Menurut Dahrendorf hubungan- hubungan kekuasaan yang menyangkut bawahan dan atasan menyediakan unsur bagi kelahiran kelas.
Dahrendorf mengakui terdapat perbedaan di antara mereka yang memiliki sedikit dan banyak kekuasaan. Perbedaan dominasi itu dapat terjadi secara drastis. Tetapi pada dasarnya tetap terdapat dua kelas sosial yaitu, mereka yang berkuasa dan yang dikuasai. Dalam analisanya Dahrendorf menganggap bahwa secara empiris, pertentangan kelompok mungkin paling mudah di analisa bila dilihat sebagai pertentangan mengenai ligitimasi hubungan- hubungan kekuasaan. Dalam setiap asosiasi, kepentingan kelompok penguasa merupakan nilai- nilai yang merupakan ideologi keabsahan kekuasannya, sementara kepentingan- kepentingan kelompok bawah melahirkan ancaman bagi ideologi ini serta hubungan- hubungan sosial yang terkandung di dalamnya.
Contoh: Kasus kelompok minoritas yang pada tahun 1960-an kesadarannya telah memuncak, antara lain termasuk kelompok- kelompok kulit hitam, wanita, suku Indian dan Chicanos. Kelompok wanita sebelum tahun 1960-an merupakan kelompok semu yang ditolak oleh kekuasan di sebagian besar struktur sosial di mana mereka berpartisipasi. Pada pertengahan tahun 1960-an muncul kesadaran kaum wanita untuk menyamakan derajatnya dengan kaum laki- laki.
10. Teori konflik aliran Marx
Beranggapan asas kepada pembentukan sesebuah masyarakat adalah disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi seperti tanah, modal, industri dan perdagangan. Asas kepada perubahan sesebuah struktur masyarakat adalah disebabkan faktor-faktor berkaitan dengan pengeluaran ekonomi. Faktor lain seperti agama, institusi politik, kekeluargaan dan pendidikan pula menjadi superstruktur masyarakat. Sebarang perubahan yang berlaku pada superstruktur masyarakat hanya akan berlaku jika terdapat perubahan pada asasnya.
11. Teori Konflik aliran Weber.
Weber menghujahkan bahawa perubahan sosial masyarakat bukanlah hanya disebabkan oleh faktor konflik kelas sosial yang berpunca daripada faktor ekonomi semata-mata tetapi turut berpunca daripada pelbagai factor.
12. Teori Konflik Menurut Lewis A. Coser.
Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya.
Seluruh fungsi positif konflik tersebut dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok yang sedang mengalami konflik dengan kelompok lain. Misalnya, pengesahan pemisahan gereja kaum tradisional (yang memepertahankan praktek- praktek ajaran katolik pra- Konsili Vatican II) dan gereja Anglo- Katolik (yang berpisah dengan gereja Episcopal mengenai masalah pentahbisan wanita). Perang yang terjadi bertahun- tahun yang terjadi di Timur Tengah telah memperkuat identitas kelompok Negara Arab dan Israel.
Coser melihat katup penyelamat berfungsi sebagai jalan ke luar yang meredakan permusuhan, yang tanpa itu hubungan- hubungan di antara pihak-pihak yang bertentangan akan semakin menajam. Katup Penyelamat (savety-value) ialah salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial. Katup penyelamat merupakan sebuah institusi pengungkapan rasa tidak puas atas sebuah sistem atau struktur.
Contoh: Badan Perwakilan Mahasiswa atau panitia kesejahteraan Dosen. Lembaga tersebut membuat kegerahan yang berasal dari situasi konflik tersalur tanpa menghancurkan sistem tersebut.
Menurut Coser konflik dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Konflik Realistis, berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan- tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan. Contohnya para karyawan yang mogok kerja agar tuntutan mereka berupa kenaikan upah atau gaji dinaikkan.
2. Konflik Non- Realistis, konflik yang bukan berasal dari tujuan- tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Coser menjelaskan dalam masyarakat yang buta huruf pembasan dendam biasanya melalui ilmu gaib seperti teluh, santet dan lain- lain. Sebagaimana halnya masyarakat maju melakukan pengkambinghitaman sebagai pengganti ketidakmampuan melawan kelompok yang seharusnya menjadi lawan mereka.
Menurut Coser terdapat suatu kemungkinan seseorang terlibat dalam konflik realistis tanpa sikap permusuhan atau agresi.
Contoh: Dua pengacara yang selama masih menjadi mahasiswa berteman erat. Kemudian setelah lulus dan menjadi pengacara dihadapkan pada suatu masalah yang menuntut mereka untuk saling berhadapan di meja hijau. Masing- masing secara agresif dan teliti melindungi kepentingan kliennya, tetapi setelah meniggalkan persidangan mereka melupakan perbedaan dan pergi ke restoran untuk membicarakan masa lalu.
Akan tetapi apabila konflik berkembang dalam hubungan- hubungan yang intim, maka pemisahan (antara konflik realistis dan non-realistis) akan lebih sulit untuk dipertahankan.
Coser menyatakan bahwa, semakin dekat suatu hubungan semakin besar rasa kasih saying yang sudah tertanam, sehingga semakin besar juga kecenderungan untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Sedang pada hubungan- hubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa permusuhan dapat relatif bebas diungkapkan. Hal ini tidak selalu bisa terjadi dalam hubungan- hubungan primer dimana keterlibatan total para partisipan membuat pengungkapan perasaan yang demikian merupakan bahaya bagi hubungan tersebut. Apabila konflik tersebut benar- benar melampaui batas sehingga menyebabkan ledakan yang membahayakan hubungan tersebut.
Contoh: Seperti konflik antara suami dan istri, serta konflik sepasang kekasih.
Coser. Mengutip hasil pengamatan Simmel yang meredakan ketegangan yang terjadi dalam suatu kelompok. Dia menjelaskan bukti yang berasal dari hasil pengamatan terhadap masyarakat Yahudi bahwa peningkatan konflik kelompok dapat dihubungkan dengan peningkatan interaksi dengan masyarakat secara keseluruhan. Bila konflik dalam kelompok tidak ada, berarti menunjukkan lemahnya integrasi kelompok tersebut dengan masyarakat. Dalam struktur besar atau kecil konflik in-group merupakan indikator adanya suatu hubungan yang sehat. Coser sangat menentang para ahli sosiologi yang selalu melihat konflik hanya dalam pandangan negatif saja. Perbedaan merupakan peristiwa normal yang sebenarnya dapat memperkuat struktur sosial. Dengan demikian Coser menolak pandangan bahwa ketiadaan konflik sebagai indikator dari kekuatan dan kestabilan suatu hubungan.

2 komentar:

  1. i'm so thankful with this post..

    BalasHapus
  2. agar lebih membantu, sertakan juga daftar pustakanya. thank you :-)

    BalasHapus