Teori konflik merupakan teori
penting masa kini yang kedua yang menekankan kenyataan sosial ditingkat
struktur sosial dari pada tingkat individual, antar pribadi atau budaya.
Awal perkembangannya para ahli
teori konflik tidak harus mengabaikan sama sekali nilai dan norma budaya.
Tetapi, mereka lebih cenderung melihat nilai dan norma sebagai ideologi yang
mencerminkan usaha kelompok-kelompok dominan untuk membenarkan
berlangsung-terusnya dominasi mereka. Seperti Marx, mereka juga berusaha
mengungkapkan pelbagai kepentingan yang berbeda dan bertentangan yang mungkin
dikelabui oleh munculnya konsensus nilai dan norma.
Tori konflik tidak mulai dari
oposisi terhadap teori fungsional Parson. Dianatara para perintis, Karl Marx
dipandang sebagai tokoh utama (dan paling kontrovensial) yang menjelaskan sumber-sumber
konflik serta pengaruhnya terhadap peningkatan perubahan sosial secara
revolusioner.
Proses konflik juga merupakan
elemen yang paling sentral dalam teori weber. Hal ini sering diabaikan oleh
mereka yang melihat tekanan Weber pada pengarug ide-ide agamasebagai suatu
penolakan terhadap tekanan Marx yang sangat matrealistrik. Sebaliknya Weber
juga mengakui bahwa ide-ide agama itu sendiri merupakan sumber konflik.
Tambahan pula, dia sadar bahwa ideal-ideal agama dapat membantu melegetimasi
posisi sosial dari kelompok yang dominan dalam masyarakat.
Meskipun Weber kurang
disterministik dan lebih jelimet daripada Marx dalam analisis mengenai konflik,
sebenarnya dia memperluas bidang dimana isu-isu mengenai konflik itu muncul.
Simel juga secara eksplisit memebicarakan
proses konflik sosial. Tidak seperti Marx dan Weber, dia menekankan pada
tingkat makro. Tekanan utamanya adalah bahwa konflik itu merupakan salah satu
bentuk interaksi dan bahwa konflik aktual dan yang potensial secara eksplisit
dibangun atas dasar pendekatan Simmel.
Dahrendorf menolak tekanan kaum
fungsionalisme pada integrasi, nilai dan konsensus normatif, serta stabilitas
karena berat sebelah, sebaliknya dia berusaha untuk mendasarkan teorinya pada
suatu prespektif modern yang menerima meluasnya konflik sosial yang didasarkan
pada oposisi kepentingan kelas dan konsekuensi konflik itu dalam melahirkan
perubahan sosial. Dia juga menekanakan pada tingakat analaisis struktur sosial.
Secara garis besar teori Dahrendorf lebih umum dari pada Marx, karena berlaku
untuk kaum kapitalistik maupun sosialistik. Dahrendorf berpendapat bahawa
kontrol atas alat produksi merupakan faktor yang paling penting, dan bukan
peilikan alat produksi.
Pendekatan Dahrendorf berlandas
pada asumsi bahwa sistem sosial itu “dikordinasi secara imperatif” denagan
hubungan otoritas. Hubungan otoritas tidak hanya dapat diamati dalam perusahaan
produksi yang dikontrol oleh pemiliknya, tetapi juga dalam birokasi
pemerintahan, partai polotik, gereja, serikat buruh dan lain-lain.
Meskipun Dahrendorf mengunakan
gaya retronika Marx serta terminologinya yang berhubungan dengan pembentukan
kelas, kesadaran kelas, konflik kelas, dan sebagainya, pokok permasalahannya
dasar dari prespektif sanagatlah berbeda dari Marx.
Kepentingan kelas obyektif yang
ditentukan secara sturuktural yang tidak disadari oleh individu, disebut
Dahrendorf dengan “kepentingan laten”. Sebaliknya, kepentingan kelas yang
disadari oleh individu terutama kalu kepentinganitu dengan sadar dikejar
disebut, “kepentingan manifest”. Yang dimaksud dia mengenai “kelompok semu”
adalah ketika kepentingan laten menjadi satu antara anggota kelompok dalam
“asosiasi yang dikordinasi secara imperatif”.
Salah satu tujuan yang utama
Dahrendorf adalah menjelaskan kodisi-kondisi dimana kelompok laten itu menjadi
manifest dan kelompok semu itu dapat diubah menjadi kelompok kepentingan yang
bersifat konflik.
Dahrendorf membedakan tiga tipe
perubahan struktural :
1. Perubahan keseluruhan personel
didalam posisi dominasi.
2. Perubahan sebagaian personel
dalam posisi dominasi.
3. Digabungkanya
kepentingan-kepentinagn kelas subordinat dalam kebijaksanaan kelas yang
berkuasa.
Konflik sosial dalam teori ini
berasal dari upaya merebut dan mempertahankan wewenang dan kekuasaan antara
kelompok-kelompok sosial yang ada di dalamnya. Hanya dalam bentuk wewenang dan
kekuasaan yang bagaimanakah konflik tersebut dapat digambarkan.
Pentinganya pengakuan yang
terbuka akan konflik dan mekanisme penagturanya juga dibicarakan dalam teori
konflik Coser. Tujuan Coser yang utama adalah memperlihatkan fungsi positif
dari konflik dalam meningkatkan intregasi sosial. Konflik antara kelompok
meningkatkan solidaritas internal dalam kelompok-kelompok yang berkonflik
tersebut.
Konflik di dalam kelompok
mencegah antaginisme yang tidak dapat dihindari yang menandai semua hubungan
sosial, dari menumpuknya sampai pada satu titik dimana hubungan itu sendiri
menjadi terancam. Konflik juga meningkatkan perkembangan ikatan sosial anatara
kelompok. Termasuk kelompok-kelompok itu sendiri.
Konflik dapat juga merupakan
suatu rangsangan utama untuk perubahan sosial dalam prespektif Coser, khususnya
kalau konflik itu bersifat realistik. Sebaliknya, konflik yang nonrealistik
dapat mempengaruhi ketegangan emosional, tetapi tidak mengena pada sebab yang
mendasar.
Perhatian utama dari Coser adalah
bukan untuk mengbangkan suatu teori komperhensif mengenai konflik, tetapi untuk
memeperlihatkan bahawa konflik dapat memepunyai fungsi positif untuk suatu
kelompok atau masyarakat daripada hanya merusakkan solidaritas, khususunya
kalau isu-isu konflik itu diakui dan dihadapi secara terbuka daripada ditekan.
Lewis Coser menyebut Katup
penyelamat ( saferty valve ) sebagai salah satu mekanisme khusus yang dapat
dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial.
Disamping menjalankan fungsi positif untuk mengatur konflik, safety valve juga
mencakup masalah pembiayaan. Oleh karena katup penyelamat bukan direncanakan
atau ditujukan untuk menghasilkan perubahan struktural, maka masalah dasar dari
konflik itu sendiri tidak terpecahkan.
Coser membedakan konflik yang
realistis dari yang tidak realistis. Konflik yang realistis berasal dari
kekecewaan terhadap tuntutan – tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan
dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada
obyek yang dianggap mengecewakan. Konflik yang tidak realistis adalah konflik
yang bukan berasal dari tujuan – tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari
kebutuhan untuk meredakan ketegangan.
Dalam satu situasi bisa terdapat
elemen – elemen konflik realistis dan non-realistis. Konflik realistis
khususnya dapat diikuti oleh sentimen – sentimen yang secara emosional
mengalami distorsi oleh karena pengungkapan ketegangan tidak mungkin terjadi
dalam situasi konflik yang lain. Dengan demikian energi – energi agresif
mungkin terakumulasi dalam proses – proses interaksi ain sebelum ketegangan
dalam situasi konflik diredakan.
Konflik dapat secara positif
fungsional sejauh ia memperkuat kelompok dan secara negatif fungsional sejauh
ia bergerak melawan struktur. Coser menyatakan bahwa yang penting dalam
menentukan apakah suatu konflik fungsional atau tidak ialah tipe isu yang
merupakan subjek konflik itu. Konflik fungsional positif bilamana tidak
mempertanyakan dasar – dasar hubungan dan fungsional negatif jika menyerang
suatu nilai inti. Dalam struktur besar atau kecil in-group dapat merupakan
indikator adanya suatu hubungan yang sehat. Coser sangat menentang para ahli
sosiologi yang sellau melihat konflik hanya dalam pandangan negatif saja.
Konflik – konflik dimana para
pesertanya merasa bahwa mereka semata – mata merupakan wakil dari kolektivitas
– kolektivitas atau kelompok – kelompok, berjuang bukan untuk dirinya tetapi
hanya untuk cita – cita kelompok yang diwakilinya itu, sangat mungkin lebih
radikal serta tak kenal ampun ketimbang mereka yang berjuang hanya untuk alasan
– alasan pribadi. Penghapusan unsur – unsur personal cenderung mempertajam
konflik karena tidak terdapatnya unsur – unsur pengubah dimana faktor – faktor
pribadi biasanya akan dimasukkan.
Pembahasan mengenai perbedaan
atara jenis – jenis konflik dan jenis – jenis struktur sosial membawa kita pada
kesimpulan bahwa konflik cenderung disfungsional bagi struktur sosial dimana
tidak ada atau tidak terdapat cukup toleransi dan institusional konflik.
Intensitas konflik yang mengancam terjadinya “penghancuran”, yang menyerang
dasar – dasar kesepakatan sistem sosial, berhubungan dengan kekuatan struktur.
Bagi Coser realitas bukan merupakan realitas subyektif, tetapi realitas obyektif.
Dengan demikian orang dihambat oleh kekuatan struktur sosial yang membatasi
kebebasan dan kreativitas. Sosiologi konlik harus mencari nilai – nilai serta
kepentingan – kepentingan yang tertanam secara struktural sehingga membuat
manusia saling terlibat dalam konflik.
Sepeti banyak karya – karya yang
disebut teori dalam sosiologi, karya Coser juga mengandung kelemahan –
kelemahan metodologis. Secara naluriah konsep – konsepnya memang menyenangkan,
tetapi tidak mungkin dijabarkan bai pengujian empiris.
Dasar teori dahrendorf adalah
penolakan dan penerimaan parsial serta perumusan kembali teori Karl Marx. Dalam
usaha melakukan penyangkalan parsial teori Marx itu Dahrendorf menunjukkan
beberapa perubahan yang terjadi dalam masyarakat industri semenjak abad kesembilan
belas. Diantara perubahan – perubahan itu adalah dekomposisi modal, dekomposisi
tenaga kerja, dan timbulnya kelas menengah baru.
Dahrendorf menyatakan bahwa ada
dasar baru bagi pembentukan kelas, sebagai pengganti konsepsei pemilikan sarana
produksi Marx sebagai dasar perbedaan kelas itu. Menurut Dahrendorf hubungan –
hubungan kekuasaan ( authority ) yang menyangkut bawahan dan atasan menyediakan
unsur – unsur bagi kelahiran kelas. Terdapat dikotomi antara mereka yang
berkuasa dan dikuasai.
Dahrendorf berpendapat bahwa di
dalam setiap asosiasi yang ditandai oleh pertentangan terdapat ketegangan
diantara mereka yang ikut dalam struktur kekuasaan dan yang tunduk pada
struktur itu. Dalam setiap asosiasi, kepentingan kelompok penguasa merupakan
nilai – nilai yang merupakan ideologi keabsahan kekuasaanya, sementara
kepentingan – kepentingan kelompok bawah melahirkan ancaman bagi ideologi ini
serta hubungan – hubungan sosial yang tekandung didalamnya. Kepentingan yang
dimaksudkan Dahrendorf mungkin bersifat manifes ( disadari ) atau laten (
kepentingan potensial ). Kepentingan laten adalah tingkah laku potensil yang
telah ditentukan bagi seseorang karena dia menduduki peranan tertentu, tetapi
masih belum disadari.
Menurut perumusan Dahrendorf
pertentangan kelas harus dilihat sebagai “kelompok – kelompok pertentangan yang
berasal dari struktur kekuasaan asosiasi – asosiasi yang terkoordinir secara
pasti”. Kelompok – kelompok yang bertentangan itu, sekali mereka ditetapkan
sebagai kelompok kepentingan, akan terlibat dalam pertentangan yang niscaya
akan menimbulkan perubahan struktur sosial.
Dahrendorf menegaskan bahwa teori
konfliknya merupakan model pluralistis yang berbeda dengan model dua-kelas yang
sederhana dari Marx. Model dua-kelas ini tidak dapat diterapkan pada masyarakat
secara keseluruhan tetapi hanya pada asosiasi – asosiasi tertentu yang ada
dalam suatu masyarakat.
Dahrendorf menegaskan bahwa
peranan merupakan konsep kunci dalama memahami manusia sosiologis. Setiap prang
menduduki sekian posisi sosial dan setiap posisi tersebut harus diperankannya.
Dalam setiap peranan sampai tingkat tertentu,membiarkan pelakunya tetap bebas
dengan tidak menegaskan hal – hal tertentu. Dahrendorf menyatakan bahwa teori
sosiologi sama sekali tidak menjelaskan kualitas moral manusia. Manusia
berperilaku sesuai dengan perannya. Dengan demikian manusia berada dalam
analisa sosiologis hanya sejauh dia mematuhi semua harapan yang berkaitan
dengan posisi – posisi sosialnya. Oleh sebab itu perlu untuk tidak menganggap
konkrit homo sicioligus dan tetap ingat bahwa model ini hanya merupakan potret
parsial manusia sebenarnya.
Citra dasar masyarakat dari
Dahrendorf yang meilhat bahwa masyarakat merupakan suatu realitas yang
sesungguhnya juga sesuai dengan fungsionalisme struktural. Dahrendorf
menjelaskan bahwa baginya masyarakat adalah lebih daripada “semua orang yang
berada didalam suatu masyarakat tertentu”. Akan tetapi berbeda dengan sabagian
besar kaum fungsionalis struktural, Dahrendorf melihat paksaan dan konflik
sebagai inti bagi pemahaman struktur masyarakat. Dia menyatakan bahwa sebagian
besar orang yang berada dalam suatu masyarakat tertentu tidak ikut ambil
bagian, langsung atau tidak, dalam merumuskan harapan – harapan peranan mereka.
Konflik di masyarakat merupakan
sesuatu yang tak bisa dielakkan, maka yang perlu diketahui bukanlah apakah
konflik itu ada atau tidak ada, tapi bagaimana intensitas dan tingkat
kekerasannya, dan dalam bentuk apa konflik itu. Apakah menyangkut masalah
fundamental atau isu-isu sekunder, pertentangan tajam atau sekadar perbedaan
pandangan ?. Intensitas konflik menunjuk pada tingkat pengeluaran energi dan
keterlibatan pihak-pihak (kelompok-kelompok) yang berkonflik. Sedangkan
kekerasan konflik menyangkut alat/sarana yang digunakan dalam situasi konflik,
mulai dari negosiasi hingga saling menyerang secara fisik. Konflik
antarkelompok yang menyangkut masalah prinsip dasar (fundamental) akan
menimbulkan pertentangan antarkelompok yang lebih serius dibandingkan bila
masalahnya sekadar bersifat sekunder atau dinilai tak penting.
Konflik di Indonesia layak di
sebut sebagai salah satu yang menjadi keseharian masyrakat Indonesia karena
setiap waktu bahkan setiap detik di negeri ini sering terjadi konflik dari
mulai konflik yang berintensitas kecil sampai yang berintensitas nasional atau
besar . Hal ini dikarenakan karakteristik dari bangsa Indonesia sendiri yang
dihuni oleh beragam RAS yang ada di dunia ini.
Namun yang akhir-akhir ini yang
booming di negeri ini konflik yang terjadi adalah konflik kepentingan yang
selalu di ikuti dalam PILKADA yang digelar di bumi pertiwi kita ini.
Pertanyaannya sekarang adalah mengapa setiap konflik kepentingan dalam
pemilihan kepala daerah (pilkada) selalu cenderung diikuti tindakan anarkis
atau konflik di antara para pendukungnya ? Di Padang Pariaman (Sumatra Barat)
misalnya, pilkada berbuntut perusakan kantor KPUD setempat. Aksi pendudukan,
pengepungan kantor KPUD, bentrokan dengan petugas keamanan, dan sejenisnya
terjadi di tempat-tempat seperti Depok (Jawa Barat), Semarang(Jawa Tengah), Mataram (NTB), Toli-Toli (Sulawesi Tengah), Gowa (Sulsel), dan di Larantuka (NTT). Hal yang paling dikhawatirkan oleh banyak pengamat adalah
terjadinya konflik yang lebih besar. Karena memang tidak ada landasan hukum
yang mendasari keputusan KPU Pusat tersebut. Adapun keberatan dan peninjauan
ulang hanya dapat dilakukan melalui Mahkamah Agung
Dalam praksis politik demokrasi,
konflik atau perbedaan kepentingan, persepsi, interpretasi terhadap mekanisme
PILKADA sebetulnya tidak saja mengandung nilai-nilai positif pembelajaran
politik, melainkan juga merupakan strategi politik yang sering dipraktikkan
banyak negara demokratis. Konflik dalam praksis politik sebetulnya tidak
mungkin dihindari, apalagi bagi Indonesia yang memiliki multipartai politik.
Namun bagi saya sekarang adalah dalam proses belajar tadi mengapa selalu di
ikuti oleh kekerasan padahal dalam proses belajar yang baik adalah proses
belajar yang mengedepankan nilai kebersamaan dan kedamaian. Tetapi Ketika
konflik terjadi, di kalangan para anggota kelompok terjadi persepsi yang bias.
Terjadi peningkatan sikap positif terhadap kelompok dirinya masing-masing
(in-group) berupa solidaritas internal, dan sikap negatif terhadap kelompok
lain (out-group). Kekompakan, komitmen, konformitas pada in-group makin tinggi,
juga muncul kepemimpinan yang bersifat agresif. Konflik antarkelompok ini
kemudian dapat dikendalikan ketika semua kelompok dihadapkan pada tugas bersama
yang merupakan tujuan bersama yang lebih tinggi (superordinate goals), yang
pencapaiannya tak mungkin tanpa partisipasi seluruh kelompok. Maka terjadilah
tranformasi dari situasi konflik ke relasi antarkelompok yang harmonis.
Penyelesaian konflik antarkelompok berdasarkan Teori Konflik adalah berada pada
tahap terakhir, yakni bagaimana mengubah konflik, pertikaian, atau perselisihan
menjadi sebuah bentuk kerja sama. konflik antarkelompok itu akan berubah
menjadi kerja sama antarkelompok apabila kepada mereka diintroduksikan
superordinate goals secara meyakinkan bahwa di atas hal-hal yang membuat mereka
saling bermusuhan itu, ada hal yang jauh lebih penting untuk dihadapi bersama.
DAFTAR PUSTAKA :
Jhonson, Doyle Paul. Teori
Sosiologi Klasik dan Modern Jilid 1 dan 2, Gramedia,1998
Polama, Margaret M. Sosiologi
Kontenporer., Jakarta : Rajawali Press, 2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar