Samuel
Huntington dan Teori Rasialnya
PAKAR politik
asal Amerika Serikat, Samuel Huntington, agaknya akan semakin populer sejak
peristiwa penghancuran World Trade Center New York dan serangan terhadap
Pentagon, 11 September lalu. Huntington dikenal sebagai tokoh yang meramalkan
suatu clash of civilisations atau "pergulatan antarperadaban" sebagai
ciri utama konflik di dunia pasca-Perang Dingin yang, bukan lagi terutama soal
ekonomi, melainkan soal tata nilai.
Kini, media
massa, domestik dan internasional, yang meliput "perang Amerika melawan
terorisme" sering membumbui ulasannya dengan referensi karya Huntington
tersebut. Lihat saja berbagai komentar pihak yang pro ataupun anti-Amerika di
Indonesia, yang sering mengutip ide dasar dari clash of civilisations ini,
walau tanpa menyebut nama Huntington. Tentu mereka diingatkan argumennya
tentang pergulatan hebat antara "peradaban Barat" dan "peradaban
Islam". Bagi mereka, secara sadar atau tidak, "perang" antara
Bush dan Usamah bin Ladin ataupun rezim Taliban di Afganistan merupakan suatu
perkembangan mutakhir yang membenarkan tesis pakar Amerika ini.
Sebenarnya,
tesis yang telanjur terkenal ini tidak lebih dari omong kosong belaka. Tapi
orang-orang yang paling kritis terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat
pun tergoda memakainya. Mungkin karena idenya ditelurkan oleh seorang akademisi
Amerika yang memang populer.
Yang pertama,
kita perlu memahami konteks kemunculan gagasan Huntington tersebut. Huntington
menulis dalam situasi berakhirnya Perang Dingin dan kemunculan negeri-negeri
Asia Timur sebagai kekuatan ekonomi baru. Bagi Huntington, "peradaban
Barat"—dengan demokrasi dan hak-hak individunya—adalah unik dan bertentangan
langsung dengan nilai peradaban bangsa-bangsa "non-Barat". Orang Asia
dan Afrika, seperti ditulisnya, lebih banyak mempunyai persamaan satu dengan
yang lainnya dibandingkan dengan orang Barat. Singkatnya, Huntington menganggap
orang non-Barat tidak mampu berdemokrasi karena hal itu bertentangan dengan
budaya mereka—cara yang agak sopan untuk mengatakan bahwa orang non-Barat tak
paham demokrasi.
Menurut saya,
ini adalah posisi yang hanya satu langkah terpaut dari posisi rasialis yang
terbuka. Suatu hal yang tidak mengherankan, karena Huntington adalah penganjur
ditutupnya negeri-negeri Barat bagi imigran dari bangsa-bangsa Asia, Afrika,
ataupun Amerika Latin.
Tapi, apa dasar
dia menganggap orang-orang non-Barat itu "sama" amat sedikit dijelaskan
secara ilmiah. Huntington menulis bahwa "peradaban Islam" akan
bersekutu dengan "peradaban Konfusian" untuk menghadang
"peradaban Barat". Jadi, orang Barat harus bersatu—tentu di bawah
Amerika Serikat—untuk melindungi nilai-nilai budaya mereka yang unik. Apa dasar
"persekutuan" Konfusian dengan Islam ini juga tidak dijelaskan dengan
rinci. Sebab, kalau dipikir, apa sih yang akan membuat pertalian yang kuat
antara negeri yang begitu berbeda seperti Saudi Arabia dan Cina? Lagi pula,
Barat pun bukanlah kesatuan yang monolitik. Orang Prancis akan marah dan
tersinggung kalau disamakan dengan orang Amerika.
Lagi pula,
stereotyping secara rasial gaya Huntington ini membuat orang lupa bahwa di
dalam satu negeri pun terdapat banyak perbedaan budaya dan perilaku. Misalnya,
apakah seorang stockbroker di Hong Kong akan mempunyai gaya hidup dan tata
nilai yang lebih mirip dengan seorang stockbroker di New York ataukah dengan
seorang petani di Vietnam? Saya kira dia akan jauh lebih merasa "di
rumah" meminum kopi di Greenwich Village, Manhattan, dibandingkan dengan
menanam padi di dekat Sungai Mekong, walaupun orang Hong Kong dan Vietnam
sama-sama dari Asia Timur.
Tapi, apa fungsi
politik gagasan Huntington tentang "pergulatan antarperadaban" ini?
Dalam konteks berakhirnya Perang Dingin, fungsinya tidak lain adalah untuk
menciptakan "musuh" baru buat publik Amerika setelah runtuhnya
imperium Soviet. Dan tesis ini betul-betul mengena dengan suasana hati orang
Amerika pada waktu itu. Contohnya, begitu banyak film Hollywood setelah 1989
yang menonjolkan orang Timur Tengah atau Asia Timur sebagai penjahat. Mungkin
saja ini menunjukkan rasa tidak amannya suatu bangsa. Ironisnya, saat itu
Amerika telah menjadi negeri adidaya yang tidak tertandingi secara politik,
meskipun telah muncul persaingan ekonomi dari beberapa negeri Asia Timur.
Tapi, lebih dari
itu, "musuh" memang selalu diperlukan di Amerika Serikat untuk
mengesahkan anggaran belanja militer besar dengan investasi pada infrastruktur
dan teknologi yang mahal. Kalau tidak, rakyat Amerika mungkin akan meminta
investasi yang lebih besar untuk hal lain, seperti pelayanan kesehatan dan
pendidikan. Namun, investasi sosial seperti ini bertentangan dengan kepentingan
corporate-military complex, yang secara tidak langsung disuarakan oleh
Huntington. Suatu mentalitas state of siege tertentu harus selalu dipelihara
untuk membenarkan keberadaan kepentingan semacam ini di tengah masalah
kemiskinan, pengangguran, dan penurunan mutu pelayanan pendidikan dan kesehatan
di Amerika Serikat. Sekarang saja kaum konservatif di Amerika sudah berteriak
untuk meningkatkan anggaran militer.
Nah,
lucunya—paling tidak di Indonesia—mereka yang mengaku tidak setuju dengan
kebijakan luar negeri Amerika, bahkan yang mengaku bersimpati pada Taliban,
memakan argumentasi Huntington hampir bulat-bulat. Mungkin ada kebanggaan
tersendiri dianggap sebagai "ancaman" oleh seorang pakar dari bangsa
adidaya seperti Amerika. Tapi, pada saat yang sama, mereka juga membenarkan
bahwa orang Islam, atau non-Barat pada umumnya, tidak bisa memahami cara
berdemokrasi karena dari sononya memang sudah begitu.
Banyak sekali
kelemahan dalam tesis Huntington itu sebenarnya. Misalnya, ia mengatakan bahwa
peradaban Barat sudah "jadi" sejak abad ke-8 dan ke-9. Dengan
demikian, "Barat" sudah menjadi Barat yang "unik" jauh
sebelum perkembangan penting seperti masa reformasi, masa Pencerahan, dan
Revolusi Industri. Klaim seperti ini membuat Huntington bisa mengabaikan bahwa
demokrasi pun ditanam di negeri Barat sebagai hasil pergulatan panjang yang
sering berdarah—terutama dalam konteks perubahan sosial ganas yang dibawa oleh
industrialisasi, termasuk beberapa percobaan revolusi oleh kaum proletariat
yang gagal. Lucunya, Huntington sendiri pernah menulis dalam sebuah buku sebelum
Clash of Civilisations bahwa "gelombang ketiga demokratisasi" sedang
melanda dunia, sesuatu yang muskil terjadi kalau demokrasi hanya milik satu
peradaban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar