Selasa, 08 Mei 2012

Samuel Huntington dan Teori Rasialnya


Samuel Huntington dan Teori Rasialnya

PAKAR politik asal Amerika Serikat, Samuel Huntington, agaknya akan semakin populer sejak peristiwa penghancuran World Trade Center New York dan serangan terhadap Pentagon, 11 September lalu. Huntington dikenal sebagai tokoh yang meramalkan suatu clash of civilisations atau "pergulatan antarperadaban" sebagai ciri utama konflik di dunia pasca-Perang Dingin yang, bukan lagi terutama soal ekonomi, melainkan soal tata nilai.

Kini, media massa, domestik dan internasional, yang meliput "perang Amerika melawan terorisme" sering membumbui ulasannya dengan referensi karya Huntington tersebut. Lihat saja berbagai komentar pihak yang pro ataupun anti-Amerika di Indonesia, yang sering mengutip ide dasar dari clash of civilisations ini, walau tanpa menyebut nama Huntington. Tentu mereka diingatkan argumennya tentang pergulatan hebat antara "peradaban Barat" dan "peradaban Islam". Bagi mereka, secara sadar atau tidak, "perang" antara Bush dan Usamah bin Ladin ataupun rezim Taliban di Afganistan merupakan suatu perkembangan mutakhir yang membenarkan tesis pakar Amerika ini.

Sebenarnya, tesis yang telanjur terkenal ini tidak lebih dari omong kosong belaka. Tapi orang-orang yang paling kritis terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat pun tergoda memakainya. Mungkin karena idenya ditelurkan oleh seorang akademisi Amerika yang memang populer.

Yang pertama, kita perlu memahami konteks kemunculan gagasan Huntington tersebut. Huntington menulis dalam situasi berakhirnya Perang Dingin dan kemunculan negeri-negeri Asia Timur sebagai kekuatan ekonomi baru. Bagi Huntington, "peradaban Barat"—dengan demokrasi dan hak-hak individunya—adalah unik dan bertentangan langsung dengan nilai peradaban bangsa-bangsa "non-Barat". Orang Asia dan Afrika, seperti ditulisnya, lebih banyak mempunyai persamaan satu dengan yang lainnya dibandingkan dengan orang Barat. Singkatnya, Huntington menganggap orang non-Barat tidak mampu berdemokrasi karena hal itu bertentangan dengan budaya mereka—cara yang agak sopan untuk mengatakan bahwa orang non-Barat tak paham demokrasi.

Menurut saya, ini adalah posisi yang hanya satu langkah terpaut dari posisi rasialis yang terbuka. Suatu hal yang tidak mengherankan, karena Huntington adalah penganjur ditutupnya negeri-negeri Barat bagi imigran dari bangsa-bangsa Asia, Afrika, ataupun Amerika Latin.

Tapi, apa dasar dia menganggap orang-orang non-Barat itu "sama" amat sedikit dijelaskan secara ilmiah. Huntington menulis bahwa "peradaban Islam" akan bersekutu dengan "peradaban Konfusian" untuk menghadang "peradaban Barat". Jadi, orang Barat harus bersatu—tentu di bawah Amerika Serikat—untuk melindungi nilai-nilai budaya mereka yang unik. Apa dasar "persekutuan" Konfusian dengan Islam ini juga tidak dijelaskan dengan rinci. Sebab, kalau dipikir, apa sih yang akan membuat pertalian yang kuat antara negeri yang begitu berbeda seperti Saudi Arabia dan Cina? Lagi pula, Barat pun bukanlah kesatuan yang monolitik. Orang Prancis akan marah dan tersinggung kalau disamakan dengan orang Amerika.

Lagi pula, stereotyping secara rasial gaya Huntington ini membuat orang lupa bahwa di dalam satu negeri pun terdapat banyak perbedaan budaya dan perilaku. Misalnya, apakah seorang stockbroker di Hong Kong akan mempunyai gaya hidup dan tata nilai yang lebih mirip dengan seorang stockbroker di New York ataukah dengan seorang petani di Vietnam? Saya kira dia akan jauh lebih merasa "di rumah" meminum kopi di Greenwich Village, Manhattan, dibandingkan dengan menanam padi di dekat Sungai Mekong, walaupun orang Hong Kong dan Vietnam sama-sama dari Asia Timur.

Tapi, apa fungsi politik gagasan Huntington tentang "pergulatan antarperadaban" ini? Dalam konteks berakhirnya Perang Dingin, fungsinya tidak lain adalah untuk menciptakan "musuh" baru buat publik Amerika setelah runtuhnya imperium Soviet. Dan tesis ini betul-betul mengena dengan suasana hati orang Amerika pada waktu itu. Contohnya, begitu banyak film Hollywood setelah 1989 yang menonjolkan orang Timur Tengah atau Asia Timur sebagai penjahat. Mungkin saja ini menunjukkan rasa tidak amannya suatu bangsa. Ironisnya, saat itu Amerika telah menjadi negeri adidaya yang tidak tertandingi secara politik, meskipun telah muncul persaingan ekonomi dari beberapa negeri Asia Timur.

Tapi, lebih dari itu, "musuh" memang selalu diperlukan di Amerika Serikat untuk mengesahkan anggaran belanja militer besar dengan investasi pada infrastruktur dan teknologi yang mahal. Kalau tidak, rakyat Amerika mungkin akan meminta investasi yang lebih besar untuk hal lain, seperti pelayanan kesehatan dan pendidikan. Namun, investasi sosial seperti ini bertentangan dengan kepentingan corporate-military complex, yang secara tidak langsung disuarakan oleh Huntington. Suatu mentalitas state of siege tertentu harus selalu dipelihara untuk membenarkan keberadaan kepentingan semacam ini di tengah masalah kemiskinan, pengangguran, dan penurunan mutu pelayanan pendidikan dan kesehatan di Amerika Serikat. Sekarang saja kaum konservatif di Amerika sudah berteriak untuk meningkatkan anggaran militer.

Nah, lucunya—paling tidak di Indonesia—mereka yang mengaku tidak setuju dengan kebijakan luar negeri Amerika, bahkan yang mengaku bersimpati pada Taliban, memakan argumentasi Huntington hampir bulat-bulat. Mungkin ada kebanggaan tersendiri dianggap sebagai "ancaman" oleh seorang pakar dari bangsa adidaya seperti Amerika. Tapi, pada saat yang sama, mereka juga membenarkan bahwa orang Islam, atau non-Barat pada umumnya, tidak bisa memahami cara berdemokrasi karena dari sononya memang sudah begitu.

Banyak sekali kelemahan dalam tesis Huntington itu sebenarnya. Misalnya, ia mengatakan bahwa peradaban Barat sudah "jadi" sejak abad ke-8 dan ke-9. Dengan demikian, "Barat" sudah menjadi Barat yang "unik" jauh sebelum perkembangan penting seperti masa reformasi, masa Pencerahan, dan Revolusi Industri. Klaim seperti ini membuat Huntington bisa mengabaikan bahwa demokrasi pun ditanam di negeri Barat sebagai hasil pergulatan panjang yang sering berdarah—terutama dalam konteks perubahan sosial ganas yang dibawa oleh industrialisasi, termasuk beberapa percobaan revolusi oleh kaum proletariat yang gagal. Lucunya, Huntington sendiri pernah menulis dalam sebuah buku sebelum Clash of Civilisations bahwa "gelombang ketiga demokratisasi" sedang melanda dunia, sesuatu yang muskil terjadi kalau demokrasi hanya milik satu peradaban.

Sayang, para komentator, aktivis politik, dan komentator kita keburu termakan oleh sebuah tesis yang memang ngetop tapi begitu simplistis dalam memetakan dunia dan sejarah manusia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar