Pembagian
kerja merupakan suatu gejala sosiologis dalam masyarakat yang telah berkembang
sejak zaman dulu dan tetap aktual sampai sekarang. Perempuan dalam ranah
domestik dan laki-laki dalam ranah publik. Banyak orang menganggap bahwa hal
ini merupakan sesuatu yang alamiah, terberi dan diterima begitu saja tanpa ada
komentar apapun.
Kenyataan seperti ini tentu membuat ketidakadilan dalam masyarakat,
khususnya kaum perempuan. Parahnya, ada yang memandang bahwa hal ini adalah
kodrat dari perempuan. Mereka yang menyetujuinya membuat pekerjaan melulu
domestik merupakan kewajiban dan hanya di situ lokus perempuan. Mereka yang
tidak setuju membuat gebrakan baru yang menentang pembagian kerja bidang
domestik bagi perempuan. Dengan kata lain mereka juga menginginkan agar
perempuan bekerja dalam lingkup publik. Hal ini dengan sendirinya membuat
perempuan menggoyang patriarki yang selama ini mengkungkung perempuan dalam
3-ur (dapur, sumur, kasur).
Tulisan
ini hendak membahas pandangan pembagian kerja menurut kaum yang menamakan diri
nature dan kaum yang berseberangan bernama nurture. Dua aliran yang hampir sama
dalam penyebutan, tapi sangat berbeda dalam pandangan. Akan ditinjau apakah
pandangan-pandangan ini masih relevan sampai pada masa kini, ataukah ada
hal-hal yang harus dikritisi sekaligus diperbaiki.
Teori Nature dan
Nurture
Teori
nature beranggapan bahwa pembangian kerja (perempuan: domestik; laki-laki:
publik) disebabkan oleh faktor-faktor biologis laki-laki dan perempuan.
Faktor-faktor itu adalah anggapan secara psikologis bahwa perempuan itu
emosional, pasif, dan submisif; sedangkan laki-laki lebih perkasa, aktif dan
agresif. Karena itu wajarlah perempuan tinggal dalam rumah, membesarkan anak-anak,
memasak dan memberi perhatian kepada suaminya. Sedangkan laki-laki, sesuai
dengan struktur biologisnya itu, pergi ke luar rumah untuk mencari
makanan/sumber penghidupan bagi keluarga. Jadi teori nature mengesahkan
pandangan bahwa daerah perempuan adalah domestik dan daerah laki-laki adalah
publik.
Teori
nurture , menolak pandangan kaum nature, dengan memahami bahwa pembagian kerja
secara seksual itu tercipta karena proses belajar dan lingkungan. Artinya,
perempuan menempati ranah domestik karena diciptakan oleh keluarga dan
masyarakat yang mengesahkan pembagian kerja seperti itu. “Wanita” dengan model
seperti pandangan nature telah dibentuk oleh masyarakat dengan tugas seperti
itu. Padahal hal ini sebenarnya, dari sisi politik, merupakan tindakan yang
direncanakan oleh sistem patriakhal untuk mengunggulkan laki-laki menguasai
perempuan.
Gejala Sosiologis Kontemporer: Teori Nature Tidak Lagi
Relevan
Berdasarkan dua teori di atas, nampak bahwa ada jurang yang begitu besar
di antara keduanya. Masalah yang ditimbulkan oleh teori nature adalah
subodinasi perempuan yang dikurung dalam rumah dan ketidakmandirian perempuan.
Jika perempuan hanya terkurung di rumah, maka ia tidak mampu secara ekonomi dan
bergantung pada laki-laki. Dengan teorinya, kaum nurture merupakan pendobrakan
patriarki yang justru dilegalkan oleh teori nature.
Dalam
perkembangan sosiologi, ternyata dalil teori nurture bahwa pembagian kerja
disebabkan karena faktor pembiasaan dari lingkungan sangat tepat. Citra seorang
perempuan memang dibentuk oleh masyarakat dan bukan terberi secara alamiah.
Maksudnya, banyak perempuan masa kini mulai merasa dirugikan oleh pembagian
kerja itu dan mereka juga mulai mengkaji kembali “kodrat” perempuan sebagaimana
yang diberikan oleh teori nature.
Karena
tidak lagi mau tergantung pada laki-laki, maka perempuan masa kini cenderung
untuk mencari juga penghasilan sendiri dalam rangka memenuhi kebutuhan
keluarganya. Dengan kata lain, perempuan berusaha untuk tidak menjadi
subordinasi laki-laki, yang kemudian menjadi diri sendiri yang bebas dan
mandiri. Gebrakan kaum nurture telah merubah pola masyarakat.
Penutup
Gerakan perempuan seperti ini
harus didukung, bukan justru dikekang seperti yang dilakukan oleh sebagian
orang khususnya laki-laki yang tidak mau merasa disaingi. Pada dasarnya
kemandirian perempuan dan pembebasan dirinya dari subordinasi laki-laki
merupakan pembebasan umat manusia (termasuk di dalamnya laki-laki) dari
ketimpangan dalam masyarakat. Perempuan tidak harus tinggal terus dalam rumah
yang membuatnya tidak dapat mengembangkan diri. Mereka juga hendaknya dapat
mengaktualisasikan diri di ranah publik yang menumbuhkan kepercayaan diri dalam
kesederajatan dengan laki-laki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar