Prinsip-Prinsip Keteraturan
Sosial dan Saling Ketergantungan Masyarakat
Filsafat
modern berkembang melalui dua aliran, pertama dibidani oleh plato yang
mengutamakan rasio manusia, dimana pengetahuan murni dianggap dapat diperoleh
melalui rasio itu sendiri (Apriori). Kedua adalah Aristoteles yang
memperhatikan peranan empiris terhadap objek pengetahuan (Aposteriori). Selanjutnya
masing-masing melahirkan penerus, kaum rasionalis didukung oleh Rene Descartes,
Melebrace, Spinoza, Leibnis dan Wolff. Kaum Empiris berkembang ditangan Hobbes,
Locke, Berkely dan Hume. Filsafat semakin kuat mendapat pondasi
positivismenya dalam ilmu sosial melalui Aguste comte (1798-1857), yang
sebagian kalangan menobatkannya sebagai bapak sosiologi karena temuannya dalam
ilmu sosiologi. Positivisme ilmu sosial mengandaikan suatu ilmu yang bebas
nilai, obyektif, terlepas dari praktik sosial dan moralitas. Semangat ini
menyajikan pengetahuan yang universal, terlepas dari soal ruang dan
waktu. Positivisme merupakan usaha membersihkan pengetahuan dari
kepentingan dan awal dari usaha pencapaian cita-cita memperoleh pengetahuan,
yaitu terpisahnya teori dari praksis. Dengan terpisahnya teori dari praksis,
ilmu pengetahuan menjadi suci dan universal. Sosiologi Comte menandai
positivisme awal dalam ilmu social, mengadopsi saintisme ilmu alam yang
menggunakan prosedur-prosedur metodologis ilmu alam dengan mengabaikan
subjektifitas. Kaum posotivis percaya bahwa masyarakat bagian dari alam
dan metode-metode empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukumnya.
Kelompok positivis pun kebanyakan dari kalangan orang-orang yang progresif yang
bertekad mencampakan tradisi-tradisi irasional dan memperbaharui masyarakat
menurut hukum alam sehingga menjadi lebih rasional. Comte melihat
masyarakat sebagai suatu keseluruhan organik yang kenyataannya lebih daripada
sekedar jumlah bagian-bagian yang saling tergantung dan untuk mengerti
kenyataan ini maka metode penelitian empiris harus digunakan dengan keyakinan
bahwa masyarakat merupakan suatu bagian dari alam seperti halnya gejala
fisik. Sistem pengetahuan mitologis irasional sudah tewas jauh sebelum
abad ke-20, dan dengan perkembangan ilmu filsafat yang bersifat ilmiah, comte
melihat kemajuan intelektual yang logis yang melewati ilmu-ilmu sesudahnya,
yaitu teologis purba, penjelasan metafisik, dan akhirnya
sampai ke terbentuknya hukum-hukum ilmiah yang bersifat positif.
Hukum Tiga Tahap
Kita
ingat dalil tiga tahapnya, yaitu bahwa masyarakat berkembang melalui tiga tahap
utama. Tahap-tahap ini ditentukan menurut cara berpikir yang dominan, tahap
teologi, metafisika dan berakhir dengan positivisme. Ilmu pengetahuan
positifistik itulah yang menggusur bermacam-macam asumsi dan mitos yang tak
bisa diverifikasi kebenarannya, segala rupa pengetahuan yang bersifat
irasional. Positivisme yang membebaskan manusia dari cengkraman kekuasaan
dewa-dewi serta dari belitan mitos dan dogma-dogma teologis seraya menabikan
manusia sebagai satu-satunya pusat dan otoritas (antroposentrisme).
Comte menjelaskan bahwa hukum tiga tahapnya itu sebuah kemajuan
evolusioner umat manusia dari masa primitif sampai ke pradaban Prancis abad
kesembilan belas yang sangat maju. Comte meyakini bahwa watak struktur sosial
masyarakat bergantung pada gaya
epistemologinya atau pandangan dunia atau cara mengenal dan menjelaskan gejala
yang dominan.
Hubungan antara
Tahap-tahap Intelektual dan Organisasi Sosial
Perkembangan
intelektual manusia ditandai dengan cara berpikir manusia tersebut yang dominan
dimana cara-cara berpikir prapositif lebih rendah daripada berpikir positif
modern. Dizamannya itu tahap-tahap yang terdahulu ini memperlihatkan sumbangan
yang bernilai terhadap keteraturan sosial dimana cara-cara berpikir itu
dominan. Comte berpikiran sama dengan kelompok progresif yang nampaknya siap
untuk menghapuskan sebagian besar sejarah pemikiran manusia sebagai suatu
cerita dongeng bohong yang menyedihkan, atau takhayul demi takhayul yang
pengaruh kumulatifnya menghalangi perkembangan manusia. Manusia mengalami
tahap evolusi pemikiran yang mengantarkannya ke sebuah peradaban yang modern.
Pada masa awal fetisisme, usaha-usaha untuk menjelaskan gejala dan takhayul
primitif membantu timbulnya pemikiran spekulatif dan mendorong peralihan dari
cara hidup berpindah-pindah kepertanian menetap. Kemudian dalam tahap
politeistik, munculnya kependetaan mendorong timbulnya suatu kelas spekulatif
yang dapat menguraikan dan meneruskan tradisi-tradisi. Kemudian ketahap
monoteistik dibawah katolisisme, upaya mengajarkan system kepercayaan abstrak
dan transedental mempermudah pemisahan kekuasaan rohani dan duniawi yang
kemudian pada gilirannya membuat moral itu melebihi politik. Evousi
pemikiran itu menjadi system yang makin lama makin umum dan komprehensif,
berhubungan dengan meluasnya bentuk kelompok yang terikat sebagai satuan
sosial. Dalam artian pola organisasi sosial yang dominan mecerminkan pengaruh
kepercayaan masing-masing serta gaya
intelektualnya. Dalam fase teologis keluarga merupakan satuan sosial yang
dominan, dalam fase metafisik negara-bangsa menjadi suatu organisasi yang yang
dominan. Comte optimis bahwa dengan munculnya fase positif, nasionalisme akan
digantikan dengan keteraturan sosial yang meliputi humanitas seluruhnya. Dalam
diskusi arti sosial dari ketiga fase ini mengandung pengaruh terhadap perasaan
manusia, seiring dengan evolusi intelektual, ada suatu evolusi perasaan yang
dibatasi oleh lingkaran yang makin lama makin meluas, dari individu mengikat
dan membentuk ikatan emosional bertahap menerus sampai ketahap universal.
Prinsip-prinsip
Keteraturan Sosial Sejalan dengan perspektif organiknya,
Comte sangat menerima saling ketergantungan yang harmonis antara
“bagian-bagian” masyarakat, dan sumbangannya terhadap bertahannya stabilitas
sosial. Meskipun keteraturan sosial dapat terancam oleh anarki sosial, moral,
dan intelektual, selalu akan diperkuat kembali. Analisa comte mengenai
keteraturan sosial dapat dibagi dalam dua fase. Pertama, usaha untuk
menjelaskan keteraturan sosial secara empiris dengan menggunakan metode
positif. Kedua, usaha untuk meningkatkan keteraturan sosial sebagai suatu
cita-cita yang normative dengan menggunakan metode-metode yang bukan tidak
sesuai dengan postivisme, tetapi yang menyangkut perasaan dan juga
intelek. Comte lebih tertarik untuk menjelaskan perkembangan evolusi
daripada menjelaskan stabilitas keteraturan sosial. konsensus terhadap
kepercayaan-kepercayaan serta pandangan-pandangan dasar selalu merupakan dasar
utama solidaritas dalam masyarakat. Karena dalam sejarah manusia dominan
dipengaruhi oleh cara berpikir teologis sehingga
tidak mengherankan kalau agama dilihat sebagai sumber utama solidaritas sosial.
Selain itu agama mendorong individu untuk disiplin dalam mencapai tujuan serta
mengatasi kepentingan individu dan mempersatukan emosional individu dalam
keteraturan sosial. ikatan emosional ini didukung oleh kepercayaan bersama dan
partisipasi bersama dalam kegiatan-kegiatan pemujaan. Singkatnya secara
tradisional Agama sudah merupakan institusi pokok yang mementingkat altruisme
lebih daripada egoisme. Pengaruh masa lampau dalam membentuk opini merangsang
individu untuk bertindak spontan menurut cara-cara yang perlu untuk
mempertahankan keteraturan social. Keteraturan sosial juga bergantung pada
pembagian pekerjaan dan kerjasama ekonomi. Individu-individu menjalankan
kegiatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan individunya. Partisipasi
individu dalam kegiaan ekonomi menghasilkan kerjasama, kesadaran saling
ketergantungan dan muncul ikatan-ikatan social baru yang kemudian meningkat
bersama industrialisasi, dan bertambahnya spesialisasi yang kemudian mendorong
individualisme. Dilain pihak ada bahaya individualisme karena meningkat
pembagian kerja yang tinggi, akan sangat ditekan dengan merugikan solidaritas
sosial. untuk mencegah timbulnya disintegrasi pembagian kerja, pemerintah harus
mengatur pelbagai “bagian” dalam masyarakat itu. Pemerintah itu sendiri, dengan
pembagian antara pemimpin dan pengikut, merupakan satu manifestasi pembagian
kerja. Comte mengemukakan bahwa pemerintah merupakan suatu gejala social
alamiah yang dapat diruntut bentuk dasarnya, sampai pada masyarakat-masyarakat
primitif. Tetapi kekuasaan pemerintah akan meluas, begitu masyarakat menjadi
lebih kompleks karena pembagian kerja. Meluasnya pemerintahan ini perlu untuk
mengimbangi individualisme yang semakin bertambah yang muncul karena
meningkatkan pembagian kerja. Dalam analisa mengenai pembagian kerja dan dalam
analisanya mengenai fungsi agama yang bersifat interogatif, Comte mendahului
beberapa sumbangan utama dari Durkheim. Agama Humanitas Ada sebuah hal yang
menarik dari gagasan comte terhadap prospek agama dalam sebuah evolusi
pemikiran manusia. Dimana Agama merupakan dasar untuk “konsensus universal”
dalam masyarakat, dan juga mendorong identifikasi emosional individu dan
meningkatkan altruisme. Tetapi kalau dilihat dari perspektif ilmiah
(positif) Melihat sebuah problematika yang dihadapi, menuai sebuah
tanda tanya yang cukup rumit, yaitu bagaimana keteraturan sosial itu dapat
dipertahankan dalam masyarakat positif di masa yang akan datang, dengan satu
dasar tradisi pokok mengenai keteraturan sosial yang digali oleh
positivisme. Dengan agak sederhana Comte mengemukakan gagasan untuk
mengatasi masalah ini dalam tahap kedua dari karirnya, dengan mendirikan agama
baru – agama humanitas – dan mengangkat dirinya sebagai imam agung. Hal
tersebut reaksi dari sebuah aspek yang meliputi suatu analisa objektifnya
mengenai sumber-sumber stabilitas dalam masyarakat; fase kedua ini meliputi
usaha meningkatnya keteraturan sosial dengan agama humanitas sebagai cita-cita
normatifnya, ini merupakan pokok permasalahan utama dalam bukunya yang berjudul
System of Positive Politics.. Walau demikian ada banyak ahli yang
mengkritik gagasannya ini, salah satunya mengatakan bahwa Comte sudah gila
ketika dia memulai karyanya ini. Mungkin karena disebabkan perubahan sikap
dalam emosi Comte yang dianggap sangat merugikan mutu karya
intelektualnya. Dalam menggambarkan System of Positive
Politics, cooser menulis: “pada halaman-halamannya, Comte sekarang
mengagungkan emosi lebih daripada intelek, perasaan melebihi akal budi; terus
menerus mengemukakan kekuasaan yang menyembuhkan dari kehangatan wanita untuk
humanitas yang terlalu lama didominasi oleh kekerasan intelek pria. Disamping
itu, Samuel dengan terang-terangan mempertentangkan kedua bukunya dengan
mengatakan : “antara Course dan System de politique positive, Comte
keluar dari kesengsaraan yang mendalam kesuatu cinta yang mistik yang demikian
menguasainya sehingga murid-muridnya sendiri cemas dan orang luar
mencemoohnya. Agama Humanitas Comte merupakan suatu gagasan utopis untuk
mereorganisasi masyarakat secara sempurna. Sosiologi akan jadi ratu ilmu
pengetahuan (seperti teologi diabad-abad pertengahan).; hal itu memungkinkan
suatu penjelasan tentang kemajuan pengetahuan manusia secara komprehensif dan
mengenai hokum-hukum keteraturan dan kemajuan sosial. Gagasan Comte
mengenai suatu masyarakat positivis dibawah bimbingan moralitas Agama
humanitas semakin terperinci. Ditandai dengan bentuk sebuah kalender baru
yang dia susun dengan hari-hari tertentu untuk menghormati ilmuwan-ilmuwan
besar dan lain-lain yang sudah berjasa dan bekerja demi kemanusiaan. Disamping
itu akan ada ritus dan do’a yang disusun untuk menyalurkan hasrat-hasrat
individu dan memasukkannya ke dalam the gret being of humanity. Ada juga kultus terhadap
kewanitaan dengan dirayakannya perasaan altruistik wanita. Comte sendiri
sebagai imam agungnya berlutut didepan altarnya sendiri (sebuah kursi mewah)
sambil memegang seikat rambut kepala Clothide de vaux, dan dia mengusulkan
supaya kuburnya merupakan tempat ziarah. Apapun kekurangan dan ekses
gagasan Comte yang terperinci itu untuk mereorganisasi masyarakat dan
mendirikan agama baru, masalah yang dia hadapi sungguh penting, baik menurut
titik pandang intelektual maupun moral. Masalah inipun merupakan dilemma
bertahun-tahun lamanya antara akal budi lawan emosi, pemahaman intelektual
lawan tanggung jawab moral, keteraturan lawan kemajuan. Walaupun banyak
pertanyaan yang menyertainya, tidak mungkin kita dapat meninjaunya dari satu
perspektif ilmuah (positif) saja, masalah-masalah itu tentunya dapat dibicarakan
menurut perspektif humanistik. Ahli ilmu social sekarang yang berpegang pada
cita-cita suatu imu social yang bersifat objektif, analitis, didasarkan pada
data empiris, ditunjuk dan diilhami oleh nilai-nilai moral humanistic, setia
pada impian “bapak sosiologi” itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar