Selasa, 08 Mei 2012

PERSPEKTIF POSITIVIS COMTE TENTANG MASYARAKAT


Prinsip-Prinsip Keteraturan Sosial dan Saling Ketergantungan Masyarakat
Filsafat modern berkembang melalui dua aliran, pertama dibidani oleh plato yang mengutamakan rasio manusia, dimana pengetahuan murni dianggap dapat diperoleh melalui rasio itu sendiri (Apriori). Kedua adalah Aristoteles yang memperhatikan peranan empiris terhadap objek pengetahuan (Aposteriori). Selanjutnya masing-masing melahirkan penerus, kaum rasionalis didukung oleh Rene Descartes, Melebrace, Spinoza, Leibnis dan Wolff. Kaum Empiris berkembang ditangan Hobbes, Locke, Berkely dan Hume.  Filsafat semakin kuat mendapat pondasi positivismenya dalam ilmu sosial melalui Aguste comte (1798-1857), yang sebagian kalangan menobatkannya sebagai bapak sosiologi karena temuannya dalam ilmu sosiologi. Positivisme ilmu sosial mengandaikan suatu ilmu yang bebas nilai, obyektif, terlepas dari praktik sosial dan moralitas. Semangat ini menyajikan pengetahuan yang universal, terlepas dari soal ruang dan waktu. Positivisme merupakan usaha membersihkan pengetahuan dari kepentingan dan awal dari usaha pencapaian cita-cita memperoleh pengetahuan, yaitu terpisahnya teori dari praksis. Dengan terpisahnya teori dari praksis, ilmu pengetahuan menjadi suci dan universal. Sosiologi Comte menandai positivisme awal dalam ilmu social, mengadopsi saintisme ilmu alam yang menggunakan prosedur-prosedur metodologis ilmu alam dengan mengabaikan subjektifitas.  Kaum posotivis percaya bahwa masyarakat bagian dari alam dan metode-metode empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukumnya. Kelompok positivis pun kebanyakan dari kalangan orang-orang yang progresif yang bertekad mencampakan tradisi-tradisi irasional dan memperbaharui masyarakat menurut hukum alam sehingga menjadi lebih rasional.  Comte melihat masyarakat sebagai suatu keseluruhan organik yang kenyataannya lebih daripada sekedar jumlah bagian-bagian yang saling tergantung dan untuk mengerti kenyataan ini maka metode penelitian empiris harus digunakan dengan keyakinan bahwa masyarakat merupakan suatu bagian dari alam seperti halnya gejala fisik. Sistem pengetahuan mitologis irasional sudah tewas jauh sebelum abad ke-20, dan dengan perkembangan ilmu filsafat yang bersifat ilmiah, comte melihat kemajuan intelektual yang logis yang melewati ilmu-ilmu sesudahnya, yaitu teologis purba, penjelasan metafisik, dan akhirnya sampai ke terbentuknya hukum-hukum ilmiah yang bersifat positif.

Hukum Tiga Tahap

Kita ingat dalil tiga tahapnya, yaitu bahwa masyarakat berkembang melalui tiga tahap utama. Tahap-tahap ini ditentukan menurut cara berpikir yang dominan, tahap teologi, metafisika dan berakhir dengan positivisme. Ilmu pengetahuan positifistik itulah yang menggusur bermacam-macam asumsi dan mitos yang tak bisa diverifikasi kebenarannya, segala rupa pengetahuan yang bersifat irasional. Positivisme yang membebaskan manusia dari cengkraman kekuasaan dewa-dewi serta dari belitan mitos dan dogma-dogma teologis seraya menabikan manusia sebagai satu-satunya pusat dan otoritas (antroposentrisme).   Comte menjelaskan bahwa hukum tiga tahapnya itu sebuah kemajuan evolusioner umat manusia dari masa primitif sampai ke pradaban Prancis abad kesembilan belas yang sangat maju. Comte meyakini bahwa watak struktur sosial masyarakat bergantung pada gaya epistemologinya atau pandangan dunia atau cara mengenal dan menjelaskan gejala yang dominan.

Hubungan antara Tahap-tahap Intelektual dan Organisasi Sosial

Perkembangan intelektual manusia ditandai dengan cara berpikir manusia tersebut yang dominan dimana cara-cara berpikir prapositif lebih rendah daripada berpikir positif modern. Dizamannya itu tahap-tahap yang terdahulu ini memperlihatkan sumbangan yang bernilai terhadap keteraturan sosial dimana cara-cara berpikir itu dominan. Comte berpikiran sama dengan kelompok progresif yang nampaknya siap untuk menghapuskan sebagian besar sejarah pemikiran manusia sebagai suatu cerita dongeng bohong yang menyedihkan, atau takhayul demi takhayul yang pengaruh kumulatifnya menghalangi perkembangan manusia. Manusia mengalami tahap evolusi pemikiran yang mengantarkannya ke sebuah peradaban yang modern. Pada masa awal fetisisme, usaha-usaha untuk menjelaskan gejala dan takhayul primitif membantu timbulnya pemikiran spekulatif dan mendorong peralihan dari cara hidup berpindah-pindah kepertanian menetap. Kemudian dalam tahap politeistik, munculnya kependetaan mendorong timbulnya suatu kelas spekulatif yang dapat menguraikan dan meneruskan tradisi-tradisi. Kemudian ketahap monoteistik dibawah katolisisme, upaya mengajarkan system kepercayaan abstrak dan transedental mempermudah pemisahan kekuasaan rohani dan duniawi yang kemudian pada gilirannya membuat moral itu melebihi politik. Evousi pemikiran itu menjadi system yang makin lama makin umum dan komprehensif, berhubungan dengan meluasnya bentuk kelompok yang terikat sebagai satuan sosial. Dalam artian pola organisasi sosial yang dominan mecerminkan pengaruh kepercayaan masing-masing serta gaya intelektualnya. Dalam fase teologis keluarga merupakan satuan sosial yang dominan, dalam fase metafisik negara-bangsa menjadi suatu organisasi yang yang dominan. Comte optimis bahwa dengan munculnya fase positif, nasionalisme akan digantikan dengan keteraturan sosial yang meliputi humanitas seluruhnya. Dalam diskusi arti sosial dari ketiga fase ini mengandung pengaruh terhadap perasaan manusia, seiring dengan evolusi intelektual, ada suatu evolusi perasaan yang dibatasi oleh lingkaran yang makin lama makin meluas, dari individu mengikat dan membentuk ikatan emosional bertahap menerus sampai ketahap universal. 
Prinsip-prinsip Keteraturan Sosial Sejalan dengan perspektif organiknya, Comte sangat menerima saling ketergantungan yang harmonis antara “bagian-bagian” masyarakat, dan sumbangannya terhadap bertahannya stabilitas sosial. Meskipun keteraturan sosial dapat terancam oleh anarki sosial, moral, dan intelektual, selalu akan diperkuat kembali.  Analisa comte mengenai keteraturan sosial dapat dibagi dalam dua fase. Pertama, usaha untuk menjelaskan keteraturan sosial secara empiris dengan menggunakan metode positif. Kedua, usaha untuk meningkatkan keteraturan sosial sebagai suatu cita-cita yang normative dengan menggunakan metode-metode yang bukan tidak sesuai dengan postivisme, tetapi yang menyangkut perasaan dan juga intelek. Comte lebih tertarik untuk menjelaskan perkembangan evolusi daripada menjelaskan stabilitas keteraturan sosial. konsensus terhadap kepercayaan-kepercayaan serta pandangan-pandangan dasar selalu merupakan dasar utama solidaritas dalam masyarakat. Karena dalam sejarah manusia dominan dipengaruhi oleh cara berpikir teologis sehingga tidak mengherankan kalau agama dilihat sebagai sumber utama solidaritas sosial. Selain itu agama mendorong individu untuk disiplin dalam mencapai tujuan serta mengatasi kepentingan individu dan mempersatukan emosional individu dalam keteraturan sosial. ikatan emosional ini didukung oleh kepercayaan bersama dan partisipasi bersama dalam kegiatan-kegiatan pemujaan. Singkatnya secara tradisional Agama sudah merupakan institusi pokok yang mementingkat altruisme lebih daripada egoisme. Pengaruh masa lampau dalam membentuk opini merangsang individu untuk bertindak spontan menurut cara-cara yang perlu untuk mempertahankan keteraturan social. Keteraturan sosial juga bergantung pada pembagian pekerjaan dan kerjasama ekonomi. Individu-individu menjalankan kegiatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan individunya. Partisipasi individu dalam kegiaan ekonomi menghasilkan kerjasama, kesadaran saling ketergantungan dan muncul ikatan-ikatan social baru yang kemudian meningkat bersama industrialisasi, dan bertambahnya spesialisasi yang kemudian mendorong individualisme. Dilain pihak ada bahaya individualisme karena meningkat pembagian kerja yang tinggi, akan sangat ditekan dengan merugikan solidaritas sosial. untuk mencegah timbulnya disintegrasi pembagian kerja, pemerintah harus mengatur pelbagai “bagian” dalam masyarakat itu. Pemerintah itu sendiri, dengan pembagian antara pemimpin dan pengikut, merupakan satu manifestasi pembagian kerja. Comte mengemukakan bahwa pemerintah merupakan suatu gejala social alamiah yang dapat diruntut bentuk dasarnya, sampai pada masyarakat-masyarakat primitif. Tetapi kekuasaan pemerintah akan meluas, begitu masyarakat menjadi lebih kompleks karena pembagian kerja. Meluasnya pemerintahan ini perlu untuk mengimbangi individualisme yang semakin bertambah yang muncul karena meningkatkan pembagian kerja. Dalam analisa mengenai pembagian kerja dan dalam analisanya mengenai fungsi agama yang bersifat interogatif, Comte mendahului beberapa sumbangan utama dari Durkheim. Agama Humanitas Ada sebuah hal yang menarik dari gagasan comte terhadap prospek agama dalam sebuah evolusi pemikiran manusia. Dimana Agama merupakan dasar untuk “konsensus universal” dalam masyarakat, dan juga mendorong identifikasi emosional individu dan meningkatkan altruisme. Tetapi kalau dilihat dari perspektif ilmiah (positif)   Melihat sebuah problematika yang dihadapi, menuai sebuah tanda tanya yang cukup rumit, yaitu bagaimana keteraturan sosial itu dapat dipertahankan dalam masyarakat positif di masa yang akan datang, dengan satu dasar tradisi pokok mengenai keteraturan sosial yang digali oleh positivisme. Dengan agak sederhana Comte mengemukakan gagasan untuk mengatasi masalah ini dalam tahap kedua dari karirnya, dengan mendirikan agama baru – agama humanitas – dan mengangkat dirinya sebagai imam agung. Hal tersebut reaksi dari sebuah aspek yang meliputi suatu analisa objektifnya mengenai sumber-sumber stabilitas dalam masyarakat; fase kedua ini meliputi usaha meningkatnya keteraturan sosial dengan agama humanitas sebagai cita-cita normatifnya, ini merupakan pokok permasalahan utama dalam bukunya yang berjudul System of Positive Politics.. Walau demikian ada banyak ahli yang mengkritik gagasannya ini, salah satunya mengatakan bahwa Comte sudah gila ketika dia memulai karyanya ini. Mungkin karena disebabkan perubahan sikap dalam emosi Comte yang dianggap sangat merugikan mutu karya intelektualnya.    Dalam menggambarkan System of Positive Politics, cooser menulis: “pada halaman-halamannya, Comte sekarang mengagungkan emosi lebih daripada intelek, perasaan melebihi akal budi; terus menerus mengemukakan kekuasaan yang menyembuhkan dari kehangatan wanita untuk humanitas yang terlalu lama didominasi oleh kekerasan intelek pria. Disamping itu, Samuel dengan terang-terangan mempertentangkan kedua bukunya dengan mengatakan : “antara Course dan System de politique positive, Comte keluar dari kesengsaraan yang mendalam kesuatu cinta yang mistik yang demikian menguasainya sehingga murid-muridnya sendiri cemas dan orang luar mencemoohnya. Agama Humanitas Comte merupakan suatu gagasan utopis untuk mereorganisasi masyarakat secara sempurna. Sosiologi akan jadi ratu ilmu pengetahuan (seperti teologi diabad-abad pertengahan).; hal itu memungkinkan suatu penjelasan tentang kemajuan pengetahuan manusia secara komprehensif dan mengenai hokum-hukum keteraturan dan kemajuan sosial.  Gagasan Comte mengenai suatu masyarakat positivis dibawah bimbingan moralitas Agama humanitas  semakin terperinci. Ditandai dengan bentuk sebuah kalender baru yang dia susun dengan hari-hari tertentu untuk menghormati ilmuwan-ilmuwan besar dan lain-lain yang sudah berjasa dan bekerja demi kemanusiaan. Disamping itu akan ada ritus dan do’a yang disusun untuk menyalurkan hasrat-hasrat individu dan memasukkannya ke dalam the gret being of humanity. Ada juga kultus terhadap kewanitaan dengan dirayakannya perasaan altruistik wanita. Comte sendiri sebagai imam agungnya berlutut didepan altarnya sendiri (sebuah kursi mewah) sambil memegang seikat rambut kepala Clothide de vaux, dan dia mengusulkan supaya kuburnya merupakan tempat ziarah. Apapun kekurangan dan ekses gagasan Comte yang terperinci itu untuk mereorganisasi masyarakat dan mendirikan agama baru, masalah yang dia hadapi sungguh penting, baik menurut titik pandang intelektual maupun moral. Masalah inipun merupakan dilemma bertahun-tahun lamanya antara akal budi lawan emosi, pemahaman intelektual lawan tanggung jawab moral, keteraturan lawan kemajuan. Walaupun banyak pertanyaan yang menyertainya, tidak mungkin kita dapat meninjaunya dari satu perspektif ilmuah (positif) saja, masalah-masalah itu tentunya dapat dibicarakan menurut perspektif humanistik. Ahli ilmu social sekarang yang berpegang pada cita-cita suatu imu social yang bersifat objektif, analitis, didasarkan pada data empiris, ditunjuk dan diilhami oleh nilai-nilai moral humanistic, setia pada impian “bapak sosiologi” itu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar