Mengapa Kita Membutuhkan Teori Marxis?
Butuh teori?
Untuk apa? Kita tahu ada krisis. Kita tahu kita dirampok oleh majikan-majikan
kita. Kita tahu kita semua marah. Kita tahu kita membutuhkan sosialisme. Lalu
apa? Teori? Teori adalah jatahnya kaum intelektual semata!
Saudara sering
mendengar kata-kata seperti itu baik dari kaum sosialis militan maupun kaum
serikat buruh. Ironis. Sebab pandangan-pandangan seperti itu sangat didukung oleh
kaum anti-sosialis. Sebabnya jelas, mereka berupaya memberi kesan bahwa
Marxisme adalah sebuah ajaran yang tidak jelas, rumit, dan membosankan. Kata
mereka, idea-idea sosialis itu “abstrak”. Mungkin saja idea-idea itu benar
dalam teori, tetapi dalam kehidupan nyata … akal sehat memberitahu kita sesuatu
yang berbeda sama sekali!
Ada problem
dengan argumen-argumen tersebut: orang-orang yang mengemukakannya biasanya
memiliki suatu “teori” tertentu. Ya, teori mereka sendiri. Bahkan sekalipun
misalnya mereka menolak untuk mengakuinya! Ajukanlah kepada mereka pertanyaan
tentang masyarakat, dan mereka akan berusaha menjawabnya dengan generalisasi
yang ini atau yang itu. Contohnya:
“Menurut
kodratnya, manusia itu serakah.”
“Siapapun dapat
mencapai puncak jika berusaha cukup keras.”
“Bila bukan
karena orang kaya, tidak akan ada uang, tidak akan ada pula lapangan pekerjaan
untuk sebagian besar dari kita.”
“Bila saja kita
dapat mendidik para pekerja, masyarakat akan berubah.”
“Kemerosotan
moral telah membuat negeri kita jadi runyam seperti ini.”
Perhatikanlah
argumen yang kerap kita dengar di jalan-jalan, di dalam bus-bus kota, di
kantin-kantin. Saudara akan mendengar lusinan perkataan seperti itu. Setiap
perkataan memuat suatu pandangan tentang mengapa masyarakat jadi seperti
sekarang dan tentang bagaimana orang-orang dapat memperbaiki keadaan mereka.
Pandangan-pandangan itu semuanya adalah “teori-teori” tentang masyarakat.
Ketika orang-orang berkata bahwa mereka tidak mempunyai teori apapun,
sesungguhnya mereka bermaksud mengatakan bahwa mereka tidak atau belum
mengklarifikasi pandangan-pandnagan mereka.
Secara khusus
ini berbahaya bagi siapa pun yang sedang berupaya mengubah masyarakat. Sebab
surat-surat kabar, radio, TV, dsb., semuanya terus-menerus mengisi pikiran kita
dengan penjelasan-penjelasan tentang problem-problem masyarakat. Tentu saja
kita diharapkan untuk menerima apapun yang mereka katakan tanpa berpikir lebih
lanjut tentang problem-problem tersebut.
Tapi Saudara
tidak dapat bertarung secara efektif untuk mengubah masyarakat kecuali Anda
menyadari apa yang salah di dalam semua argumen yang berbeda-beda itu.
Pertama kali hal
ini nampak sekitar satu atau dua abad yang lalu. Pada tahun-tahun 1830-an dan
1840-an, perkembangan industri di kawasan-kawasan seperti barat-laut Inggris
telah menarik ratusan ribu laki-laki, perempuan, dan anak-anak ke dalam
pekerjaan-pekerjaan dengan imbalan penderitaan. Mereka terpaksa menanggung
kondisi-kondisi hidup yang luar biasa memprihatinkan. Mereka mulai balik
melawannya melalui organisasi-organisasi massa pekerja yang pertama:
serikat-serikat buruh yang pertama, dan di Inggris gerakan pertama untuk
hak-hak politik para pekerja. Bersama dengan gerakan-gerakan ini ada
kelompok-kelompok kecil pertama dari orang-orang yang berdedikasi untuk
memenangkan sosialisme.
Problem segera
muncul: bagaimana gerakan para pekerja dapat mencapai tujuannya?
Menurut beberapa
orang, mungkin saja kita meyakinkan para penguasa masyarakat supaya mereka
mengubah keadaan yang tidak adil itu melalui sarana-sarana damai. “Kekuatan
moral” dari sebuah gerakan massa yang damai akan memastikan bahwa
keuntungan-keuntungan akan diberikan kepada kaum pekerja. Ratusan ribu orang
diorganisir, berdemonstrasi, dan bekerja untuk membangun sebuah gerakan yang
didasarkan pada pandangan-pandangan seperti itu. Hasilnya adalah kekalahan dan
demoralisasi!
Beberapa orang
lainnya mengakui perlunya menggunakan “kekuatan fisik”. Tapi mereka berpikir
bahwa ini “kekuatan fisik” ini harus dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil dan
konspiratorial yang terpisah dari masyarakat. Pandangan ini membuat puluhan
ribu pekerja masuk ke dalam perjuangan-perjuangan yang juga berakhir dengan
kekalahan dan demoralisasi!
Beberapa orang
lainnya lagi percaya bahwa kaum pekerja dapat mencapai tujuan-tujuan mereka
dengan aksi-ekonomik, tanpa berkonfrontasi dengan tentara dan polisi. Pandangan
ini pun menyebabkan aksi-aksi massa. Di Inggris, pada tahun 1842, pemogokan
yang pertama di dunia terjadi di kawasan-kawasan industrial di sebelah utara.
Puluhan ribu orang mogok selama empat minggu, sampai akhirnya mereka dipaksa
kembali bekerja oleh kelaparan!
Menjelang akhir
tahap pertama dari perjuangan-perjuangan yang keok itu, sosialis Jerman Karl
Marx (1848) mencetuskan idea-ideanya dalam pamflet, The Communist Manifesto.
Idea-ideanya tidak lahir di ruang hampa. Idea-idea itu berupaya menyediakan
suatu basis untuk menggumuli semua pertanyaan yang telah diajukan oleh gerakan
kaum pekerja pada waktu itu.
Idea-idea yang
dikembangkan Marx masih relevan hari ini. Beberapa orang memang terlalu
tergesa-gesa untuk mengatakan bahwa idea-idea tersebut sudah usang karena Marx
menuliskannya lebih dari 150 tahun yang silam. Faktanya, semua keyakinan
tentang masyarakat yang dikritisi Karl Marx masih sangat luas berterima.
Sebagaimana kaum Chartis berargumen tentang “kekuatan moral” atau “kekuatan
fisik”, kaum sosialis masa kini berargumen tentang “jalan parlementer” atau
“jalan revolusioner”. Di antara mereka yang mengaku revolusioner argumen yang
mendukung atau menentang “terorisme” masih hidup sebagaimana halnya pada tahun
1848.
Kaum Idealis
Marx bukan orang
pertama yang berupaya menggambarkan apa yang salah dengan masyarakat. Pada
waktu ia menulis, penemuan-penemuan baru dalam kepabrikan telah mendatangkan
kekayaan dengan skala yang tak terbayangkan oleh generasi-generasi sebelumnya.
Nampaknya untuk pertama kalinya umat manusia memiliki sarana-sarana untuk
mempertahankan dirinya terhadap bencana-bencana alam yang telah mendatangkan
kesengsaraan selama berabad-abad.
Sayangnya, ini
bukan berarti perbaikan dalam kehidupan sebagian terbesar orang. Justru
kebalikannya. Para laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang tergiring ke
pabrik-pabrik baru telah menjalani hidup yang jauh lebih buruk daripada
kehidupan yang dijalani oleh nenek moyang mereka yang harus memeras keringat
mengerjakan tanah. Upah mereka hanya nyaris menaruh mereka above the bread
line; pengangguran massal yang kerap kali terjadi membuat mereka jatuh ke bawah
garis tersebut. Mereka terjerumus ke pemukiman-pemukiman kumuh yang sangat
buruk dan kotor. Tanpa sanitasi yang memadai, mereka menjadi korban wabah
penyakit yang mengerikan. Alih-alih mendatangkan kebahagiaan dan kesejahteraan
umum, perkembangan peradaban memunculkan penderitaan yang lebih besar!
Bukan hanya Marx
yang mencatat hal ini, tetapi juga beberapa pemikir besar pada zaman itu:
orang-orang seperti penyair-penyair Inggris Blake dan Shelley, orang-orang
Prancis Fourier dan Proudhon, serta para filsuf Jerman Hegel dan Feuerbach.
Hegel dan
Feuerbach menggunakan istilah alienasi untuk menggambarkan keadaan tidak
bahagia yang di dalamnya umat manusia menemukan dirinya. Umat manusia
terus-menerus menemukan diri mereka dikuasai dan ditindas oleh apa yang telah
mereka perbuat di masa lalu. Feuerbach menjelaskan: manusia telah mengembangkan
idea tentang Allah, kemudian menyembahnya; ia menyembah “Allah” dengan
digelayuti rasa sesal dan berdosa; sebab, ia tidak dapat memenuhi
tuntutan-tuntutan “ilahi” yang sebenarnya telah dibuatnya sendiri. Semakin maju
masyarakat, semakin sengsaralah orang-orang yang teralienasi itu.
Dalam
tulisan-tulisannya yang paling awal, Marx mengambil konsep tentang “alienasi”
ini dan menerapkannya pada kehidupan orang-orang yang menciptakan kekayaan
masyarakat:
Si pekerja
menjadi semakin miskin, sementara kian banyak kekayaan yang dihasilkannya;
semakin besar daya dan tingkatan produksinya ... Meningkatnya nilai dunia-benda
terjadi dalam perbandingan-langsung dengan merosotnya nilai dunia-manusia ...
Obyek yang dihasilkan oleh kerja mengkonfrontirnya sebagai sesuatu yang asing,
sebagai suatu kekuatan yang independen dari si produsen …
Pada zaman Marx,
penjelasan yang populer tentang “apa yang salah” dengan masyarakat masih
bercorak religius. Menurut penjelasan itu, kemalangan masyarakat disebabkan
oleh kegagalan umat dalam melaksanakan kehendak Allah. Andai saja kita semua
“menanggalkan dosa”, segala sesuatu akan berjalan dengan baik.
Pandangan yang
serupa masih sering kita dengar sampai sekarang. Memang coraknya tidak selalu
religius. Misalnya klaim yang mengatakan: “Untuk mengubah masyarakat, Anda
pertama-tama harus mengubah dirimu sendiri.” Andai saja tiap-tiap orang, baik
laki-laki maupun perempuan, dapat menjaga diri mereka dari “keserakahan” atau
“sikap materialistis”, secara otomatis masyarakat akan menjadi lebih baik.
Senada dengan
itu adalah pandangan berikut: yang penting bukan mengubah setiap orang atau
semua individu dalam masyarakat, tetapi mengubah segelintir “orang kunci”,
yakni orang-orang yang menjalankan kekuasaan dalam masyarakat. Gagasan
dasariahnya, membuat kaum yang kaya dan yang berkuasa “melihat kebenaran”.
Contohnya adalah Robert Owen, seorang sosialis Inggris. Owen mulai dengan upaya
meyakinkan kaum industrialis bahwa mereka harus memperlakukan para pekerja
mereka dengan lebih baik. Pandangan yang sama masih dominan sampai sekarang di
kalangan para pemimpin Partai Buruh Inggris. Tidak terkecuali sayap kirinya.
Mereka selalu menyebut kejahatan-kejahatan para majikan hanya sebagai
“kekeliruan-kekeliruan” (mistakes). Seakan-akan sedikit argumen akan
mempengaruhi bisnis-bisnis besar untuk mengendurkan cengkraman mereka terhadap
rakyat jelata.
Marx menyebut
pandangan-pandangan itu “idealis”. Tentu ia tidak menentang orang-orang yang
mempunyai “idea-idea”. Persoalannya, pandangan-pandangan itu mengasumsikan
bahwa idea-idea terpisah dari kondisi-kondisi obyektif yang di dalamnya rakyat
hidup. Padahal, idea-idea secara erat terkait dengan corak kehidupan tertentu.
Contohnya, “kepentingan diri sendiri” (selfishness). Dewasa ini masyarakat
kapitalis membiakkan selfishness, bahkan di kalangan orang-orang yang memiliki
kecenderungan untuk mengutamakan orang lain. Seorang pekerja yang ingin
melakukan yang terbaik untuk anak-istrinya, atau memberikan tunjangan kepada
orang tua mereka, mengerti bahwa satu-satunya cara adalah terus bertarung
dengan orang lain: untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik, waktu lembur
yang lebih banyak, atau menjadi yang pertama untuk mendapatkan pekerjaan
tambahan. Dalam corak kehidupan seperti itu, Saudara tidak bisa menyingkirkan
“kepentingan diri sendiri” atau “keserakahan” hanya dengan mengubah pemikiran
orang-perorang.
Lebih
menggelikan adalah pandangan yang ingin mengubah masyarakat dengan mengubah
idea-idea “orang-orang top”. Andaikan Saudara berhasil memenangkan seorang boss
besar bagi idea-idea sosialis; kemudian ia berhenti mengeksploitir para
pekerja. Apa yang akan terjadi? Boss itu akan mengalami kekalahan dalam
persaingan dengan boss-boss pesaingnya, bahkan tersingkir dari percaturan
bisnis. Bahkan berkenaan dengan orang-orang yang memangku kekuasaan dalam
masyarakat, problemnya bukanlah idea-idea. Alih-alih, problemnya adalah
struktur masyarakat yang di dalamnya para pemimpin itu berpegang pada idea-idea
tertentu.
Poin ini dapat
dikemukakan dengan cara lain. Bila idea-idea adalah pengubah masyarakat, dari
manakah idea-idea itu berasal? Kita hidup di dalam suatu jenis masyarakat
tertentu. Idea-idea yang dikemukakan melalui surat kabar, televisi, sistem
pendidikan, dsb., membela jenis masyarakat tersebut. Bagaimana seseorang pernah
sanggup untuk mengembangkan suatu idea yang sepenuhnya berbeda? Karena
pengalaman-pengalaman keseharian mereka bertentangan dengan idea-idea resmi
masyarakat kita.
Sebagai contoh,
Saudara tidak dapat menjelaskan mengapa jauh lebih sedikit orang yang religius
sekarang daripada seratus tahun yang lalu hanya dengan merujuk pada
keberhasilan propaganda ateistik. Anda masih harus menjelaskan mengapa orang
mendengarkan idea-idea ateistik dengan cara yang tidak mereka lakukan seratus
tahun yang lalu.
Serupa dengan
itu, bila Saudara ingin menjelaskan dampak “orang-orang besar”, Saudara harus
menjelaskan mengapa orang-orang lain setuju untuk mengikut mereka. Tidak tepat
mengatakan, misalnya, Napoleon atau Lenin telah mengubah sejarah, tanpa
menjelaskan mengapa jutaan orang bersedia melakukan apa yang mereka anjurkan.
Padahal, mereka bukanlah para penghipnotis massa. Sesuatu dalam hidup
masyarakat pada titik tertentu menyebabkan orang-orang untuk merasa bahwa apa
yang mereka anjurkan benar adanya.
Saudara hanya
dapat memahami bagaimana idea-idea mengubah sejarah bila Saudara memahami dari
mana idea-idea itu datang dan bagaimana orang-orang menerimanya. Itu berarti
menelisik menembus idea-idea menuju kondisi-kondisi material masyarakat yang di
dalamnya idea-idea itu muncul. Itu sebabnya Marx menegaskan: “Bukanlah
kesadaran yang menentukan keberadaan, tetapi keberadaan sosial yang menentukan
kesadaran.” ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar